ANALISIS PAJAK

Dinamika Biaya Promosi sebagai Biaya Pengurang Penghasilan Bruto

Rabu, 06 Februari 2019 | 09:54 WIB
Dinamika  Biaya Promosi sebagai Biaya Pengurang Penghasilan Bruto

Deborah,
DDTC Consulting

DALAM menghadapi persaingan usaha yang sangat ketat di era globalisasi ini, kegiatan promosi tetap menjadi salah satu kunci penting untuk keberhasilan pemasaran suatu produk. Dengan dilakukannya kegiatan promosi maka perusahaan secara aktif menyebarkan informasi, memengaruhi, membujuk, serta meningkatkan sasaran atas produk yang dijual perusahaan (Tjiptono, 1997). Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa kegiatan promosi merupakan kegiatan investasi yang sangat kritis dalam proses penjualan produk perusahaan (Rangkuti, 2002).

Untuk tujuan pajak, manifestasi dalam rangka memverifikasi kegiatan promosi wajib pajak harus dapat dibuktikan dengan aspek formal dan aspek material. Aspek formal yang harus dipenuhi oleh wajib pajak agar biaya promosi yang dikeluarkan dapat dijadikan sebagai biaya pengurang penghasilan bruto (biaya fiskal) adalah dengan membuat daftar nominatif serta melampirkannya dalam SPT Tahunan wajib pajak.

Daftar nominatif tersebut paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, NPWP, alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya, besarnya biaya, nomor bukti pemotongan, dan besarnya PPh yang dipotong sebagaimana diatur dalam PMK No.02/PMK.03/2010. Di sisi lain, biaya promosi juga harus memenuhi persyaratan material, yaitu biaya yang dikeluarkan harus didukung dengan bukti yang valid dan kompeten.

Dalam praktiknya, seringkali dijumpai koreksi terkait dengan biaya promosi karena persyaratan administrasi daftar nominatif dianggap oleh DJP, dalam hal ini pemeriksa, belum sepenuhnya diisi sebagaimana dipersyaratkan PMK No. 02/PMK.03/2010. Misalnya, ketika wajib pajak dihadapkan pada penerima atau lawan transaksi yang tidak memiliki NPWP sehingga dalam daftar nominatif yang dibuat wajib pajak tersebut tidak memuat NPWP lawan transaksi.

Dalam kondisi ini, timbul pertanyaan apakah biaya promosi yang dikeluarkan oleh wajib pajak tidak dapat dijadikan sebagai biaya fiskal. Akan tetapi, di sisi lain wajib pajak dapat membuktikan kebenaran aspek material dari pengeluarannya tersebut memang benar-benar berhubungan langsung dengan kegiatan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (kegiatan 3M) sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 6 Ayat (1) UU PPh.

Lebih lanjut, walaupun dalam beberapa Putusan Pengadilan Pajak, misalnya Putusan No. Put-105214.15/2010/PP/M.IIIA dan Putusan No. Put-48795/PP/M.I/15/2013, Majelis Hakim membatalkan dan tidak mempertahankan koreksi daftar nominatif dengan NPWP tidak ada. Namun demikian, koreksi terkait persyaratan administrasi biaya promosi masih seringkali menimbulkan perbedaan persepsi antara wajib pajak dengan pemeriksa.

Menurut pendapat penulis, koreksi biaya promosi yang disebabkan administrasi daftar nominatif seharusnya tidak terjadi, sepanjang wajib pajak dapat membuktikan kebenaran aspek material dari biaya promosi itu sendiri. Terdapat dua poin yang setidaknya perlu dipertimbangkan.

Pertama, prinsip yang dianut dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan di Indonesia adalah substance over form. Prinsip ini memberikan penekanan bahwa substansi ekonomis jauh lebih penting daripada bentuk formal yang dipergunakan (Mansury, 2002). Dengan demikian, ketika aspek material biaya promosi yang dikeluarkan oleh wajib pajak dapat diverifikasi memang benar-benar untuk kegiatan 3M maka persyaratan administrasi daftar nominatif tidak lagi menjadi kendala dalam penerapannya.

Kedua, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pengaturan persyaratan administrasi daftar nominatif tidak diatur dalam UU PPh, melainkan dirumuskan dalam PMK. Berdasarkan prinsip hukum lex superiori derogat legi inferiori, dengan diberikannya wewenang oleh UU PPh kepada PMK untuk mengatur lebih lanjut terkait biaya promosi yang diperkenankan menjadi biaya fiskal, ketentuan dalam PMK tersebut tentunya mempunyai kekuatan hukum yang mengikat wajib pajak dan DJP sepanjang tidak bertentangan dengan UU PPh.

Akan tetapi, apabila ketentuan perpajakan menambah ruang lingkup, peraturan tersebut dapat saja dibatalkan oleh pengadilan (Darussalam dan Septriadi, 2006). Dengan demikian, berdasarkan prinsip lex superiori derogat legi inferiori, seharusnya dapat diinterpretasikan bahwa ketika aspek material biaya promosi yang dikeluarkan oleh wajib pajak dapat diverifikasi benar-benar untuk kegiatan 3M maka biaya tersebut sudah seharusnya dapat dijadikan sebagai biaya fiskal.

Memang, pada dasarnya persyaratan administrasi daftar nominatif sebagaimana diatur dalam PMK No. 02/PMK.03/2010 adalah merupakan media kontrol bagi DJP. Namun demikian, terdapat pengaturan yang perlu diselaraskan agar dalam penerapannya tidak terdapat tumpang tindih.

Pertama, perlu dipertegas kembali bahwa esensi biaya promosi yang dapat dijadikan sebagai biaya fiskal adalah yang berhubungan dengan kegiatan 3M sebagaimana amanat dari ketentuan Pasal 6 Ayat (1) UU PPh. Dengan demikian, apabila terdapat hal-hal yang tidak substansial, tidak seharusnya menimbulkan koreksi atas biaya promosi tersebut.

Berkaca pada ketentuan perpajakan di India, Malaysia, Korea Selatan, serta Peru yang memperkenankan seluruh biaya promosi untuk dijadikan sebagai biaya fiskal tanpa adanya persyaratan untuk pembuatan daftar nominatif. Namun demikian, dokumen pendukung dari pengeluaran wajib pajak harus disimpan dengan baik oleh wajib pajak sesuai jangka waktu yang ditetapkan.

Kedua, perlu adanya simplifikasi dari persyaratan administrasi daftar nominatif yang harus dipenuhi wajib pajak. Simplifikasi ini penting untuk mengurangi biaya kepatuhan (compliance cost) yang harus ditanggung wajib pajak (World Bank, 2009).

Sebagai contoh, ketika wajib pajak menyelenggarakan kegiatan promosi dengan menggunakan vendor. Dalam kegiatan tersebut, terdapat pembagian barang-barang promosi yang bertujuan untuk memperkenalkan produk baru wajib pajak. Simplifikasi dapat dilakukan ketika pembuatan daftar nominatif hanya perlu memasukkan nama penyelenggara kegiatan promosinya saja.

Ketiga, dengan mengacu pada poin sebelumnya, perlu juga adanya upaya simplifikasi terhadap mekanisme pemotongan pajak (withholding tax) sehubungan dengan kegiatan promosi yang dilakukan oleh wajib pajak. Alasannya, biaya kepatuhantermasuk di dalamnya biaya yang berkaitan sebagai agen pemotongerat kaitannya dengan tolak ukur upaya simplifikasi dalam pengenaan pajak (Evans, Krever, dan Mellor, 2015).*

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 24 April 2024 | 16:50 WIB PAJAK PENGHASILAN

DJP Sebut Tiap Perusahaan Bebas Susun Skema Pemberian THR dan Bonus

Rabu, 24 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

DJP Tegaskan Tak Ada Upaya ‘Ijon’ Lewat Skema TER PPh Pasal 21

Rabu, 24 April 2024 | 15:12 WIB PAJAK PENGHASILAN

Lebih Potong Pajak karena TER, SPT Tahunan Pegawai Bakal Tetap Nihil

Rabu, 24 April 2024 | 14:05 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Setelah THR, Pegawai Terima Bonus Siap-Siap Kena Pajak Lebih Tinggi

BERITA PILIHAN