PESATNYA proses digitalisasi membuat data dan informasi saat ini dapat dengan mudah disimpan, dipindahkan, dan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, termasuk untuk kepentingan administrasi perpajakan.
Data atau informasi yang dimaksud, bisa bersumber dari bank, perusahaan jasa pembayaran, supplier, instansi pemerintah, sampai dengan data dari negara mitra yang dipertukarkan melalui automatic exchange of information (AEOI).
Dengan digitalisasi data, otoritas pajak juga dapat dengan mudah mengumpulkan dan memproses data dan informasi tertentu untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan. Teknologi yang digunakan otoritas pajak pun beragam.
Merujuk pada laporan terbaru OECD bertajuk Tax Administration 2022: Comparative Information on OECD and other Advanced and Emerging Economies, mayoritas otoritas pajak yang disurvei telah menggunakan data science untuk kepentingan perpajakan dan terus bertambah.
Dari total 58 otoritas pajak yang disurvei pada 2020, sebanyak 89,5% atau 52 di antaranya memakai data science untuk menganalisa risiko kepatuhan wajib pajak. Pada 2018, hanya 73,7% otoritas pajak yang menggunakan data science untuk memantau kepatuhan wajib pajak.
Selanjutnya, sekitar 47,4% otoritas pajak yang tercatat telah menggunakan artificial intelligence (AI) hingga machine learning untuk mendeteksi risiko ketidakpatuhan hingga fraud. Pada 2018, hanya 31,6% otoritas pajak yang menggunakan AI.
Dari total otoritas pajak yang menggunakan AI, sekitar 52,9% di antaranya menggunakan AI untuk menilai risiko kepatuhan wajib pajak. Sementara itu, sebanyak 49% memakai AI untuk mendeteksi pengelakan pajak hingga fraud.
Terakhir, sekitar 40,3% dari otoritas pajak yang disurvei telah melakukan analisis data secara otomatis menggunakan robot (robotic process automation). Pada 2018, hanya 22,8% otoritas pajak yang dapat mengolah data secara otomatis menggunakan robot. (rig)