PERKEMBANGAN teknologi informasi (TI) kerap dimanfaatkan untuk meningkatkan perbaikan proses administrasi, kepatuhan, serta transparansi pajak. Dengan pemanfaatan TI dalam administrasi pajak, otoritas dapat mengoptimalkan kualitas pelayanan serta pengawasan terhadap wajib pajak.
Selama 2 dekade terakhir, otoritas pajak di berbagai belahan dunia telah meningkatkan penggunaan TI. Adapun penggunaan TI terutama dalam proses pemungutan pajak serta penyediaan layanan terhadap wajib pajak (OECD, 2017).
Berbagai inovasi TI, seperti pembayaran secara elektronik, pelaporan pajak secara online lewat e-filing, penyediaan situs informatif, serta pengembangan akses terhadap data wajib pajak, menjadi fitur-fitur andalan otoritas.
Penggunaan TI diprediksi akan berkembang tidak hanya untuk pelayanan dan pemungutan pajak, tetapi juga meluas ke arah pemeriksaan (e-audit), compliance risk management (CRM), serta pencegahan fraud. Hal tersebut disebabkan masuknya berbagai teknologi baru seperti artificial intelligence, blockchain, machine learning, dan terobosan lainnya ke dalam ranah administrasi pajak.
Berbagai negara juga telah merespons kemunculan teknologi baru tersebut dalam sistem administrasi pajaknya. Tren respons ini salah satunya dipotret dalam survei Asian Development Bank (ADB) pada 2018 terhadap 34 negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik.
Berdasarkan pada hasil survei tersebut, dapat disimpulkan, teknologi baru secara parsial telah diterapkan otoritas pajak di beberapa negara kawasan Asia dan Pasifik.
Bila diperinci, terdapat 2 negara yang telah memanfaatkan AI dalam sistem administrasi pajaknya, yaitu Malaysia dan Singapura. AI digunakan untuk menciptakan basis data yang memungkinkan otoritas melakukan pengawasan dan identifikasi berbagai transaksi pajak dengan lebih praktis.
Fitur blockchain juga tengah dikembangkan beberapa negara seperti RRC, Malaysia, dan Filipina. Melalui teknologi blockchain, otoritas pajak dapat menyimpan digital yang bersumber dari catatan transaksi atau data di jaringan internet menggunakan banyak server (multiserver).
Salah satu terobosan yang populer diadaptasi negara kawasan Asia dan Pasifik ialah identifikasi biometrik. Fitur perekaman sidik jari, pemindaian iris mata, serta pengenalan suara dan wajah diharapkan dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi dan penyelidikan pajak. Beberapa negara yang telah memanfaatkan fitur ini antara lain Jepang, Fiji, Selandia Baru, dan Kamboja.
Sementara itu, otoritas pajak di India, Australia, dan Singapura juga telah mengadopsi teknologi percakapan melalui AI, yaitu chatbot. Kemudian, fitur proses automasi robotik baru digunakan di India untuk mengumpulkan analisis data, pengelolaan resiko, serta meningkatkan efisiensi kerja.
Apabila dilihat per kawasan, negara di Kawasan Asia Tenggara memiliki intensitas penggunaan teknologi baru yang lebih tinggi. Peningkatan tren digitalisasi ini juga mendorong Ditjen Pajak (DJP) turut serta mendigitalisasi sistem perpajakan, melalui rencana pengembangan beberapa teknologi baru termasuk AI, blockchain, dan chatbot.
Secara keseluruhan, sekitar 88% negara di kawasan Asia dan Pasifik setidaknya memiliki perencanaan untuk menyongsong dan mengadopsi teknologi baru dalam mengoptimalkan sistem pajaknya. Dalam konteks ini, upaya negara-negara tersebut bukan hanya transformasi, melainkan beralih kepada evolusi peran administrasi pajak (Larsen dan Gianelli, 2021). (kaw)