Ilustrasi.
SEPANJANG sejarah umat manusia, penguasa berupaya mengoptimalkan penerimaan negara melalui penaklukan, sumber daya alam, dan utang untuk memenuhi kebutuhan anggaran. Meski begitu, ketiga instrumen penerimaan tersebut memiliki kelemahannya tersendiri.
Pertama, suatu negara tak bisa terus menerus mengandalkan penaklukan untuk memenuhi kebutuhan anggaran. Seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan, negara tersebut makin rentan diserang oleh negara lain.
Kedua, sumber daya alam tidak bisa terus menyokong penerimaan akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan fluktuasi harga.
Ketiga, utang hanya bisa diandalkan bila ada pihak lain yang bersedia memberikan pinjaman. Oleh karena kelemahan-kelemahan ini, mayoritas negara lambat laun akan berevolusi menjadi negara pajak atau steuerstaaten. (Hakelberg dan Seelkopf, 2021).
Kebanyakan literatur dari berbagai bidang keilmuan sering kali berkesimpulan bahwa suatu negara yang demokratis memiliki kapabilitas yang lebih tinggi dalam memungut pajak.
Dengan demikian, terdapat hubungan yang linier antara demokrasi dan penerimaan pajak. Makin demokratis suatu negara maka makin tinggi penerimaan pajak yang mampu dikumpulkan oleh negara tersebut.
Setidaknya terdapat 3 penjelasan berbeda yang ditawarkan oleh para pakar mengenai korelasi positif antara demokrasi dan penerimaan pajak. Pertama, negara demokratis dipandang memiliki ekonomi yang lebih maju sehingga mampu menghasilkan penerimaan pajak yang lebih tinggi.
Kedua, demokratisasi meningkatkan peran serta kelas menengah dalam pembuatan kebijakan. Guna memenuhi tuntutan kelas menengah, kebutuhan belanja kian meningkat dan hal ini hanya bisa dipenuhi dengan instrumen pajak. Alhasil, pajak di negara demokratis berperan sebagai instrumen redistribusi.
Ketiga, negara demokratis memiliki penerimaan pajak yang lebih tinggi karena publik di negara tersebut mempersepsikan bahwa negara memiliki legitimasi dan kredibilitas untuk memungut pajak.
Di negara demokratis, wajib pajak meyakini bahwa pajak yang dibayarkannya akan digunakan untuk kepentingan bersama dan beban pajak telah didistribusikan secara adil.
Namun, terdapat beberapa literatur yang berkesimpulan negara otoriter justru memiliki kemampuan pemajakan yang lebih besar karena lebih memiliki kebebasan untuk memaksa rakyatnya membayar pajak (freedom to coerce).
Meski rakyat berpandangan negara tidak memiliki legitimasi untuk memungut pajak, mereka tetap membayar pajak guna menghindari risiko pengenaan sanksi. Lantas, apakah dapat disimpulkan demokrasi selalu memiliki hubungan yang linier dengan penerimaan pajak?
Lalu, apakah negara yang dalam proses demokratisasi pasti menikmati peningkatan penerimaan pajak? Maria Melody Garcia dan Christian von Haldenwang dalam jurnal bertajuk Do Democracies Tax More? Political Regime Type and Taxation mencatat temuan yang berbeda.
Berdasarkan kajian atas hubungan antara rezim politik dan pajak di 131 negara pada 1990 hingga 2008, Garcia dan von Haldenwang menemukan adanya hubungan nonlinier (U-shaped relationship).
Negara yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya otoriter memiliki penerimaan pajak relatif tinggi, sedangkan negara yang semidemokratis memiliki penerimaan pajak yang lebih rendah.
Berdasarkan gambar di atas, negara yang sepenuhnya demokratis dengan skor polaxis 20 dan negara yang sepenuhnya otoriter dengan skor polaxis 0 ternyata memiliki rasio pajak yang tinggi dan relatif setara.
Sementara itu, negara semidemokratis dengan skor polaxis 7-13 justru memiliki rasio pajak yang lebih rendah.
Rendahnya penerimaan pajak negara semidemokratis disebabkan adanya ketidakpastian politik dan rendahnya kapasitas negara untuk memungut pajak. Publik tidak memiliki motivasi untuk membayar pajak jika keyakinan publik terhadap kapasitas negara dan stabilitas politik cenderung rendah.
Negara yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya otoriter justru memiliki rasio pajak yang lebih tinggi sejalan dengan stabilnya ekspektasi publik terhadap pemerintahan yang berkuasa.
Dengan demikian, penulis berkesimpulan stabilitas politik justru berperan besar menentukan kinerja penerimaan pajak suatu negara.
Dengan hasil ini pula, penulis menyimpulkan bahwa negara yang berada dalam proses peralihan dari otoritarianisme menuju demokrasi bakal memiliki kinerja penerimaan pajak yang rendah.
Rasio pajak baru akan meningkat bila proses demokratisasi sudah berhasil memperbaiki kualitas institusi politik di negara tersebut. (rig)