LAPORAN DDTC DARI TIONGKOK (2)

Bisnis E-Commerce Lintas Batas dan Peranan Big Data

Awwaliatul Mukarromah | Senin, 12 Februari 2018 | 08:36 WIB
Bisnis E-Commerce Lintas Batas dan Peranan Big Data

Khisi Armaya Dora dan Awwaliatul Mukarromah, dua delegasi DDTC yang mengikuti konferensi e-commerce global di Beijing, China (9-10/2). (Foto:DDTCNews)

PADA tanggal 9-10 Februari 2018, World Customs Organization (WCO) dan Otoritas Kepabeanan Tiongkok (China Customs) menggelar konferensi e-commerce global pertama di China National Convention Center, Beijing, Tiongkok dengan tajuk “An Innovative, inclusive, strategic, and collaborative approach to sustainable cross-border e-commerce”.

Lebih dari 2.000 peserta dari 125 negara di dunia hadir dalam konferensi internasional ini, termasuk delegasi DDTC yang diwakili oleh lima orang, yaitu: David Hamzah Damian, Khisi Armaya Dora, Niken Ayu Permandarani, Dwi Wahyuni dan Awwaliatul Mukarromah. Serta, Darussalam sebagai managing partner DDTC juga turut mendampingi. Berikut laporan ringkasnya:

Perkembangan E-Commerce Lintas Batas di Tiongkok

Baca Juga:
Transaksi e-Commerce Diprediksi Tembus Rp 1.730 Triliun pada 2025

BISNIS e-commerce telah menunjukkan eksistensinya dalam sistem perekonomian dunia. Kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi platform bisnis daring ini semakin meluas mencakup transaksi domestik maupun lintas batas negara.

Tiongkok misalnya. Bisnis e-commerce di negara ini telah menjadi sektor krusial. Tercatat dalam tiga tahun terakhir, nilai ekspor dan impor dari kegiatan e-commerce tumbuh dengan pesat. Pada 2017 lalu, otoritas bea dan cukai mencatat pertumbuhan arus ekspor-impor e-commerce mencapai 80,6% dengan nilai 90,24 miliar yuan.

Statistik Transaksi E-Commerce Lintas Batas Berupa Impor dan Ekspor yang Diproses oleh Kepabeanan Tiongkok Tahun 2015-2017

Baca Juga:
Ikuti KTM WTO ke-13, RI Ingin Stop Moratorium Bea Masuk Barang Digital
Impor dan Ekspor Nilai Tingkat Pertumbuhan
2015 2016 2017 2015 2016 2017
Total 36,02 49,96 90,24 - 38,7% 80,6%
Ekspor 21,73 23,81 33,65 - 9,6% 41,3%
Impor 14,30 26,15 56,59 - 82,9% 116,4%

dalam miliar Renminbi (RMB)

Hal ini menunjukkan bisnis e-commerce global menjadi wajah baru perekonomian dunia. Sayangnya, saat ini masih banyak persoalan yang dinilai menjadi penghambat sekaligus tantangan bagi para pelaku bisnis e-commerce maupun otoritas kepabeanan di setiap negara.

Beberapa isu yang menjadi perhatian di antaranya terkait dengan fasilitas perdagangan, simplifikasi prosedur, keselamatan dan keamanan (safety and security), pemungutan pendapatan negara, hingga pengelolaan big data di sektor e-commerce.

Baca Juga:
Kemendag Terima 7.707 Laporan Konsumen Sepanjang 2023, Mayoritas Aduan

Bisnis e-commerce sejatinya mengubah lanskap perdagangan dengan menciptakan suatu sistem yang hanya membutuhkan lebih sedikit pihak perantara (intermediaries) dalam rantai bisnisnya.

Melalui e-commerce lintas batas, individu atau pembeli dapat memesan barang yang dibutuhkan hanya dengan memanfaatkan jaringan komputer secara langsung. Fenomena ini mengarah pada terbentuknya fragmentasi lalu lintas barang yang ditandai dengan semakin besarnya jumlah pengiriman barang kecil (small shipment).

Mendorong Pertumbuhan E-Commerce yang Berkesinambungan

Baca Juga:
Oktober 2023: Penyedia e-Commerce Wajib Bermitra dengan DJBC

Selain dengan memberi kemudahan fasilitas ekpor dan impor barang serta melakukan simplifikasi prosedur, inovasi dalam teknologi dan informasi menjadi kunci dalam mendorong bisnis e-commerce yang berkesinambungan.

Saat ini kebutuhan modernisasi sistem kepabean dan cukai dalam bentuk e-customs semakin meningkat seiring dengan berkembangnya e-commerce lintas batas. Sistem e-customs akan memfasilitasi transaksi e-commerce dengann lebih mudah seperti terkait dengan pengurusan customs clearance atas pengiriman barang.

Melalui sistem ini, otoritas kepabeanan dan cukai dapat menjalankan pengawasan secara efektif dan pada saat yang sama mengumpulkan pundi-pundi uang negara secara efisien. WCO Revised Kyoto Convention (ICT Guidelines) memberikan informasi bagaimana otoritas kepabeanan dan cukai dapat menggunakan teknologi untuk menuju lingkungan yang serba elektronik, atau membentuk era digital customs.

Baca Juga:
Ketentuan Impor Barang Konsumsi Diperketat, Ini Kata Mendag

Beberapa poin penting dalam sistem e-customs ini antara lain membentuk lingkungan yang paperless (e-processing) melalui layanan satu pintu (single window) hingga adanya sistem layanan kepabenanan nonstop (24/7) mengingat bisnis e-commerce tidak terbatas waktu dan ruang.

Pentingnya Big Data dalam Sistem Kepabeanan E-Commerce Lintas Batas

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi ketertarikan yang besar terhadap penggunaan big data, baik dari kalangan akademisi, pemerintahan, maupun para pelaku industri e-commerce. Di kalangan pelaku industri, besarnya ketertarikan terhadap big data ini didorong oleh adanya fakta bahwa perusahaan e-commerce yang menggunakan big data dalam value chain-nya, mempunyai produktivitas 5-6% lebih tinggi dibanding kompetitor mereka yang tidak menggunakan big data.

Baca Juga:
Mulai 2024, Otoritas Ini Pungut Pajak atas Barang Impor di e-Commerce

Sementara dalam badan pemerintahan, penggunaan big data telah dilakukan oleh administrasi kepabeanan di beberapa negara. Misalnya, U.S Customs and Border Protection (USCBP) yang merupakan Badan Kepabeanan Amerika Serikat menggunakan big data dalam sistem pengawasan kargo. Kemudian, Dinas Bea dan Cukai dan Perpajakan di Inggris menggunakan big data untuk menganalisis dan mendeteksi penipuan dan penghindaran pajak.

Pertanyaannya, sebenarnya apa yang dimaksud dengan big data? Yotaro Ozaki menyebutkan bahwa belum terdapat definisi big data yang disepakati secara umum. Menurutnya, big data dapat diartikan sebagai suatu sistem dengan proses pengumpulan data sebanyak mungkin, menyimpan dalam basis data volume besar, dan mengkombinasikan dari berbagai sumber.

Dengan adanya big data, memungkinkan untuk para penyedia konten atau penyedia jaringan menyimpan setiap aktivitas pengguna untuk dapat dilakukan profiling terhadap pengguna tersebut. E-commerce, khususnya yang terjadi secara lintas batas, merupakan ‘lingkungan’ yang kaya akan data sehingga kepabeanan berpotensi merangkul data penting tentang perdagangan.

Baca Juga:
Kemenkop-UKM Minta TikTok Shop Ikuti Aturan, Tak Fasilitasi Transaksi

Tidak seperti perdagangan konvensional, adanya marketplace yang tersentralisasi dalam e-commerce, menyebabkan pengelolaan dan pembaruan data berjalan secara sistematis. Oleh karenanya, apabila data tersebut dapat dibuat dan dibagikan secara efektif berdasarkan transaksi kepada Badan Kepabeanan, hal ini dapat membantu badan tersebut dalam mempercepat proses clearance sekaligus menjamin pengumpulan penerimaan yang berasal dari transaksi e-commerce.

Pentingnya penggunaan big data juga menjadi bahasan hangat dalam konferensi ini. Hampir semua panelis yang berasal dari berbagai negara menyatakan bahwa big data memegang peranan penting dalam membangun sistem kepabeanan dalam era ekonomi digital, khususnya bagi e-commerce.

Kepala Manajemen Kinerja dan Program Pengembangan Kepabeanan Azerbajian Igbal Babayev menyebut big data merupakan “new direction” dalam membuat keputusan penting terkait sistem kepabeanan di Azerbajian.

Baca Juga:
Ekonomi Digital Tumbuh, Ada Peluang dan Tantangan ke Penerimaan Pajak

Di negara ini, peranan big data dalam sistem kepabeanan e-commerce meliputi beberapa hal, antara lain pengembangan prinsip single window bagi transaksi lintas batas, penerapan sisten pengawasan kargo, solusi bagi masalah e-customs, pengembangan infrastruktur berbasis teknologi baru, serta penerapan teknologi paperless dalam prosedur kepabeanan.

Kepala Data Penerbangan dan Analisis Transportasi Udara Sainarayan Anantharayan menegaskan bahwa selain manfaat dan pentingnya big data bagi sistem kepabeanan, masalah keamanan dari data tersebut tidak boleh dilupakan dan harus menjadi perhatian besar.

Tidak dapat dipungkiri, banyaknya penggunaan big data sebagai pertukaran informasi privasi dalam era ekonomi digital dapat menimbulkan risiko terhadap privasi data-data pengguna. Di berbagai negara, faktor kerahasiaan data masih menjadi problem tersendiri.

Kendati demikian, penggunaan big data dari sektor e-commerce akan menjadi modal bagi pemerintah, khususnya otoritas kepabeanan, dalam menentukan berbagai kebijakan disamping menjadi alat untuk mempermudah memahami pola dan perilaku ekonomi dari para aktor e-commerce, serta sarana menggali pundi-pundi penerimaan negara.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 25 Maret 2024 | 15:37 WIB KINERJA PERDAGANGAN

Transaksi e-Commerce Diprediksi Tembus Rp 1.730 Triliun pada 2025

Selasa, 27 Februari 2024 | 11:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Ikuti KTM WTO ke-13, RI Ingin Stop Moratorium Bea Masuk Barang Digital

Jumat, 05 Januari 2024 | 18:43 WIB LAYANAN PERDAGANGAN

Kemendag Terima 7.707 Laporan Konsumen Sepanjang 2023, Mayoritas Aduan

Minggu, 31 Desember 2023 | 10:00 WIB KILAS BALIK 2023

Oktober 2023: Penyedia e-Commerce Wajib Bermitra dengan DJBC

BERITA PILIHAN
Kamis, 28 Maret 2024 | 15:31 WIB PENGAWASAN PAJAK

Data Konkret akan Daluwarsa, WP Berpotensi Di-SP2DK atau Diperiksa

Kamis, 28 Maret 2024 | 14:42 WIB PELAPORAN SPT TAHUNAN

Mau Pembetulan SPT Menyangkut Harta 5 Tahun Terakhir, Apakah Bisa?

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Jatuh pada Hari Libur, Batas Waktu Pelaporan SPT Tahunan Tidak Diundur

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:17 WIB PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Optimalisasi Dua PP Perpajakan Migas Jadi Cara untuk Genjot PNBP Migas

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:15 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

RUU Daerah Khusus Jakarta Disetujui DPR, Hanya PKS yang Menolak