Ilustrasi
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah masih harus melakukan kajian dan mewaspadai dampak yang timbul jika ingin mendirikan wilayah tax haven di Indonesia.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara Astera Prima Bhakti mengatakan pemerintah masih perlu meneliti keuntungan dan kerugian sebelum mendirikan tax haven di wilayah tertentu. Apalagi Indonesia merupakan negara yang tergabung dalam G20 yang telah menyepakati transparansi informasi perpajakan.
"Ini berisiko jika Indonesia tidak siap menegakkan transparansi data pajak. Indonesia akan tidak dipercaya oleh sejumlah negara lain, serta akan dimasukkan ke daftar blacklist oleh G20," ujarnya di Jakarta, Rabu (7/9).
Menurutnya, pemberian insentif pajak tersebut dapat mencederai kesepakatan yang ada dan menimbulkan kompetisi tidak sehat antarnegara terkait tarif pajak.
Apalagi Automatic Exchange of Information (AEoI) yang diusung OECD pun sebentar lagi akan diberlakukan sebagai bentuk pertukaran data secara otomatis dalam kepentingan perpajakan pada tahun 2017 dan 2018. Hampir seluruh negara akan memberlakukan AEoI tersebut.
"Jika mendirikan tax haven, Indonesia bisa dianggap sebagai yurisdiksi yang tidak kooperatif," katanya.
Selan itu, AEoI akan mendorong transparansi keuangan yang akan bermanfaat dalam mengatasi arus keuangan ilegal yang telah merugikan beberapa negara berkembang, seperti Indonesia.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo juga memberikan pendapat dalam pertemuan G-20 di Cina lalu. Menurutnya, pemerintah antarnegara khususnya yang tergabung di G20 perlu melakukan kerja sama dan menindaklanjuti segala upaya perbaikan, khususnya di bidang perpajakan.
Kerja sama itu yakni upaya untuk mencegah penghindaran pajak di masing-masing negara anggota G-20 guna menciptakan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan transparan. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.