Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (DJA) Rofyanto Kurniawan.Â
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan menyatakan pemerintah akan terus berupaya untuk menurunkan rasio utang pemerintah di tengah pascapandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (DJA) Rofyanto Kurniawan mengatakan pandemi Covid-19 telah menyebabkan defisit APBN melebar dan utang meningkat. Untuk itu, APBN perlu kembali disehatkan.
"Otomatis dengan defisit yang terjaga, jangka menengah dan panjang akan kami upayakan debt to GDP ratio akan menurun," katanya, dikutip pada Minggu (30/10/2022).
Pada 2020, lanjut Rofyanto, pemerintah terpaksa melebarkan defisit APBN sampai dengan 6,14% lantaran pandemi Covid-19 menyebabkan penerimaan negara menurun dan kebutuhan belanja justru melonjak.
Dalam perkembangannya, angka itu perlahan diturunkan menjadi 4,57% pada 2021, dan direncanakan mencapai 4,5% pada tahun ini. Pada 2023, defisit APBN disepakati hanya akan 2,84% atau sesuai dengan amanat UU No. 2/2020.
Rofyanto menjelaskan peningkatan rasio utang menjadi konsekuensi dari kebijakan pelebaran defisit APBN. Namun, rasio utang harus segera diturunkan untuk menjamin fondasi keuangan kuat sehingga terjadi soft landing untuk menuju komitmen konsolidasi fiskal pada 2023.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang diestimasi mencapai 5% dan inflasi sekitar 6%-6,5%, angka PDB nominal pada tahun ini diperkirakan tumbuh 11%-11,5%. Jika penambahan defisit dan pembiayaan di bawah angka tersebut, rasio utang diharapkan juga turun.
Sayangnya, utang tidak hanya terjadi karena defisit APBN, tetapi juga pembiayaan investasi yang dilakukan pemerintah.
"Mestinya defisit ini yang dibiayai dari utang dan SAL [saldo anggaran lebih]. Kalau kita membiayai dari SAL, otomatis bisa mengurangi penerbitan utang juga," ujar Rofyanto.
Dia menjelaskan UU Keuangan Negara mengatur rasio utang pemerintah maksimum sebesar 60% dari PDB. Hingga September 2022, posisi utang pemerintah tercatat mencapai Rp7.420 triliun atau 39% dari PDB.
Meski masih jauh dari ambang batas yang diatur undang-undang, ia menilai rasio utang pemerintah tetap harus segera diturunkan. Menurutnya, rasio utang pemerintah yang tinggi, bahkan melampaui 100% PDB seperti Jepang dan AS, akan meningkatkan risiko pada pengelolaan APBN.
"Karena kalau bablas akan repot," tutur Rofyanto. (rig)