Guru Besar Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) Gunadi. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Diundangkannya UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ikut mengubah sejumlah ketentuan dan karakter pengenaan pajak. Salah satunya, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mengalami penyesuaian.
Guru Besar Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) Gunadi lantas menjelaskan sejumlah latar belakang di balik perubahan ketentuan PPN yang dituangkan pemerintah melalui UU HPP.
Dia mengungkapkan perekonomian nasional memang makin membaik saat ini. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan realisasi penerimaan PPN sampai Oktober 2021 sebesar 20,01% atau Rp348,42 triliun.
"Kalau tidak ditambah dengan berbagai effort (upaya tambahan), realisasi penerimaan negara sampai akhir tahun kira-kira sebesar 95%, oleh karena itu perlu effort untuk mengoptimalkan penerimaan itu,” ujar Gunadi pada Seminar Nasional Taxplore FIA UI, Sabtu (4/12/2021).
Gunadi lantas membedah lebih dalam perubahan terkait PPN yang diatur dalam UU HPP. Menurutnya, ada 6 pasal dalam UU PPN s.t.d.d. UU Cipta Kerja (UU CK) yang diubah dalam UU HPP.
Perubahan yang terjadi di antaranya pada Pasal 4A mengenai non BKP/JKP, Pasal 7 mengenai kenaikan tarif PPN, Pasal 8A mengenai pengkreditan pajak masukan, Pasal 9 mengenai penjelasan ketentuan sebelumnya, Pasal 9A mengenai pungutan PPN atas besaran tertentu, dan Pasal 16B tentang kriteria PPN bebas.
Dari sejumlah perubahan yang terjadi, Gunadi memberi catatan kepada pemerintah. Dia memandang ada pengaburan tipe PPN di Indonesia yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan UU HPP.
Gunadi memberi contoh ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2a) UU PPN, yang mengatur Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang belum berproduksi dan belum ada penyerahan terutang pajak, pajak masukan atas barang modal dapat dikreditkan.
Namun, dalam UU Cipta Kerja dan UU HPP yang mengubah pasal itu, hanya PKP yang belum melakukan penyerahan/ekspor BKP yang dapat dikreditkan. Ketentuan itu tidak mengatur PKP yang belum berproduksi/tidak.
Lebih lanjut, Gunadi menjelaskan adanya kekosongan hukum dengan penghapusan beberapa ayat dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN. Padahal substansi ketentuan yang dihapus tersebut berkaitan dengan konteks perpajakan pada saat ini. Oleh karena itu, menurutnya pada aturan turunan UU HPP perlu diperjelas kedudukan substansi yang dihapus tersebut pada saat ini.
Gunadi menekankan terdapat 4 prinsip dasar pengenaan PPN. Pertama, broad base atas seluruh penyerahan atau impor barang/jasa. Kedua, pungutan pada tiap tahap produksi dan jalur distribusi.
Ketiga, PKP harus dapat mengkreditkan pajak masukan bukan beban. Keempat, bersifat domestik melalui pengenaan di tempat serah atau konsumsi barang/jasa.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Subdit PPN Industri Direktorat Perpajakan 1 Ditjen Pajak (DJP) Yosefin Wiwik Widianti mengatakan sejak adanya Pandemi Covid-19 telah ada 3 UU yang mengubah ketentuan PPN, yaitu PERPPU No. 1 Tahun 2020, UU Cipta Kerja, dan UU HPP.
“Latar belakang perubahan UU PPN, dikarenakan C-Efficiency (penerimaan) PPN Indonesia yang rendah yakni 63,58%. Lebih rendah dibandingkan Singapura atau Thailand. Hal ini dikarenakan banyaknya tax exemption dan fasilitas PPN,” kata Wiwik.
Atas kondisi tersebut, ujarnya, pemerintah melakukan perubahan UU PPN. Perubahan tersebut terutama terjadi terhadap 3 substansi. Pertama, pengurangan objek dan fasilitas PPN, melalui amendemen Pasal 4A dan Pasal 16B UU PPN. Kedua, kenaikan tarif PPN, melalui amendemen Pasal 7 UU PPN. Ketiga, kemudahan dan kesederhanaan melalui penambahan Pasal 9A UU PPN.
"Kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap dari 10% menjadi 11% dan kemudian 12%. Dalam rangka antisipasi Pandemi Covid-19, juga untuk mendukung kemudahan berusaha, dan mendukung peningkatan penerimaan pajak," kata Wiwik. (rizki zakariya/sap)