Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar DJBC Sunaryo (paling bawah kanan) saat memberikan paparan dalam webinar bertajuk 'Rasionalitas Target Cukai 2021' yang digelar Minggu (30/8/2020).
JAKARTA, DDTCNews—Pemerintah telah mempertimbangkan faktor ekonomi 2021 dan resiliensi industri hasil tembakau dalam menetapkan target penerimaan cukai hasil tembakau tahun depan.
Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar DJBC Sunaryo mengatakan pemerintah mengusulkan target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan sebesar Rp172,8 triliun, naik 4,8% dari target tahun ini sebesar Rp164,9 triliun.
“Dalam menentukan target, kami mempertimbangkan empat pilar yakni penerimaan negara, pengendalian konsumsi, serapan tenaga kerja, dan peredaran rokok ilegal,” ujarnya dalam webinar bertajuk ‘Rasionalitas Target Cukai 2021’, Minggu (30/8/2020).
Sunaryo menjelaskan kebijakan pemerintah mengenai CHT saat ini sebenarnya berorientasi terhadap pengendalian konsumsi dan aspek kesehatan, bukan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara.
Hal itu bisa terlihat pada tarif CHT tahun ini yang diklaim pemerintah sudah melewati titik optimalnya. Hal ini membuat rata-rata kenaikan tarif CHT sekitar 23% tahun ini ternyata tidak menghasilkan penerimaan yang optimal.
Terkait dengan penyerapan tenaga kerja, pemerintah menilai industri secara umum masih memiliki resiliensi dalam menyerap dan melindungi tenaga kerja, terutama industri hasil tembakau yang bersifat padat karya.
Meski begitu, Sunaryo tidak menampik industri hasil tembakau tengah mengalami tekanan akibat pandemi Covid-19 sehingga kebijakan CHT pada 2021 tidak bisa terlalu eksesif dalam rangka melindungi aspek perlindungan tenaga kerja.
“Target CHT dan kebijakan CHT secara umum perlu dijaga agar tetap rasional dan tetap sasaran dalam rangka mencegah peningkatan rokok ilegal akibat kenaikan tarif CHT maupun harga jual eceran (HJE) yang eksesif,” tuturnya.
Apalagi, lanjutnya, kenaikan harga rokok secara umum berpotensi menurunkan peredaran rokok legal sebesar 1% dan menaikkan peredaran rokok ilegal sebesar 8%. Oleh karena itu, keseimbangan tarif perlu dijaga dalam rangka menekan peredaran rokok ilegal.
"Ini yang kami jaga agar disparitas harga antara rokok legal dan ilegal tidak semakin melebar dan tidak meningkatkan peredaran rokok ilegal karena ini juga bakal berdampak terhadap prevalensi perokok," ujar Sunaryo. (rig)