RUU KONSULTAN PAJAK

Pembahasan Tidak Boleh Lepas dari Sistem Perpajakan Indonesia

Redaksi DDTCNews
Senin, 10 September 2018 | 12.01 WIB
Pembahasan Tidak Boleh Lepas dari Sistem Perpajakan Indonesia
Managing Partner DDTC, Darussalam memberikan paparan dalam diskusi publik RUU Konsultan Pajak bertajuk ‘Membangun Profesi Konsultan Pajak dalam Perspektif Kepentingan Nasional’ di Auditorium Vokasi Universitas Indonesia (UI), Senin (10/9/2018).

JAKARTA, DDTCNews – Pembahasan RUU Konsultan Pajak tidak boleh lepas dari sistem perpajakan Indonesia, baik untuk melihat situasi saat ini maupun di masa mendatang.

Hal ini disampaikan oleh Managing Partner DDTC, Darussalam dalam diskusi publik RUU Konsultan Pajak bertajuk ‘Membangun Profesi Konsultan Pajak dalam Perspektif Kepentingan Nasional’ di Auditorium Vokasi Universitas Indonesia (UI), Senin (10/9/2018).

“Konsultan Pajak itu bagian dari sistem besar perpajakan Indonesia. Membahas RUU Konsultan Pajak tidak boleh lepas dari itu, melihat situasi saat ini dan mendatang,” ujarnya.

Para pemangku kepentingan, sambungnya, harus menempatkan pembahasan dalam situasi yang terjadi saat ini. Dia menyebut semua indikator pajak tercatat negatif hingga tahun lalu. Salah satu indikator ini terkait realisasi penerimaan pajak.

Berdasarkan data Ditjen Pajak (DJP), realisasi penerimaan pajak sejak 2009 tidak pernah mencapai target alias terus mencatatkan shortfall. Dalam konteks ini, ada faktor tingginya target ataupun faktor lain dalam sistem perpajakan di Tanah Air.

Sejalan dengan hal tersebut, tax ratio – murni penerimaan pajak – masih berada di bawah 10%. Padahal, sambungnya, sesuai dengan ketentuan International Monetary Fund (IMF), pembangunan yang berkelanjutan jikatax ratio sebuah negara berada di level 12,75%.

Selain itu, elastisitas penerimaan pajak terhadap laju produk domestik bruto (PDB) atau tax buoyancy masih amblas di bawah 1%. Pada tahun lalu tax buoyancy perpajakan hanya mencapai 0,48%.

Jumlah konsultan pajak saat di Indonesia saat ini juga belum ideal. Saat ini, rasio konsultan pajak dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia sebesar 1:73.429. Sementara, rasio di Jepang dan Jerman, misalnya, masing-masing 1:1.823 dan 1:1.142.

Melihat situasi yang ada saat ini, RUU Konsultan Pajak harus ditempatkan dalam situasi saat ini dan mendorong perbaikan di masa mendatang. Jika kerangka rencana regulasi ini justru menghambat perbaikan di masa mendatang, menurut Darussalam, harus ditinjau lagi.

“Apa perlu saat ini memiliki UU Konsultan Pajak? Kalau ingin mendorong sistem perpajakan kita, silakan. Kalau tidak mendukung, ya tunggu dulu. Namun, saya sepakat DJP, Komwas Pajak, konsultan pajak, dan pendidikan pajak harus diperkuat,” jelasnya.

Pada dasarnya, lanjut dia, semua sepakat bahwa konsultan pajak mempunyai peran penting. Aspek ini dinilai tidak perlu diperdebatkan kembali. Penguatan konsultan pajak juga harus dilakukan. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi, konsultan pajak hanya sebagian dari pemangku kepentingan perpajakan yang lain.

“Jadi, kalau kita bicara peran penting dari konsultan pajak tidak boleh lepas dari pemangku kepentingan yang lain. Sehingga, lagi-lagi, konsultan pajak itu bagian dari sistem besar perpajakan Indonesia,” imbuh Darussalam. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.