JAKARTA, DDTCNews - Ketidakpastian pasar keuangan global membuat nilai tukar rupiah terus terdepresiasi sejak awal tahun. Bank Indonesia (BI) tercatat sudah menaikkan suku bunga acuan BI-7 Days Reverse Repo Rate sebanyak 100 basis poin (bps) hingga Juni 2018.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Puspa Ghani Talattov menilai intervensi dari sisi moneter tidaklah cukup untuk redam gejolak nilai tukar. Perlu ada bauran kebijakan fiskal dan moneter agar volatilitas nilai tukar rupiah tidak semakin melebar.
"Kenaikan BI 7-DRR sebesar 100 bps dalam 2 bulan terakhir ternyata belum mampu menjinakkan gejolak nilai tukar rupiah. Artinya, instrumen moneter saja belum cukup meredakan depresiasi, perlu langkah lain dari sisi kebijakan fiskal yang mampu menstimulus ekonomi jangka pendek," katanya, Rabu (4/7).
Menurutnya, kebijakan fiskal yang bisa ditempuh pemerintah ialah berupa pemberian insentif. Salah satunya adalah relaksasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk pembelian rumah pertama agar permintaan KPR juga meningkat.
"Hal ini kemudian menjadi kebijakan fiskal yang mendukung langkah bank sentral melakukan relaksasi kebijakan Loan to Value (LTV) atau aturan uang muka Kredit Pemilikan Rumah (KPR)," ungkap Abra.
Selain itu, dia juga menyoroti langkah BI yang pada kebijakan terakhirnya menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin. Meski dikompensasi dengan relaksasi aturan di sektor properti namun langkah BI ini tetap berpotensi menekan laju pertumbuhan ekonomi.
"Saya khawatir, justru kenaikan suku bunga acuan BI tersebut malah berbalik arah menekan geliat ekonomi, dipicu kenaikan bunga kredit bank yang akhirnya menghambat ekspansi sektor riil," paparnya.
Seperti yang diketahui, berdasarkan data BI per 28 Juni 2018, rupiah tercatat Rp14.390 per USD, atau melemah 3,44% (ptp) dibandingkan dengan level akhir Mei 2018. Sementara dibandingkan dengan akhir Desember 2017, rupiah melemah 5,72% (year to date). Data terkini pada Kamis (5/7) posisi rupiah berada di level Rp14.426 per dolar AS. (Amu)