AUSTRALIA telah mengalami perubahan sistem pajak yang signifikan dalam 35 tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut, berbagai reformasi atau perubahan pajak dilancarkan oleh tiap rezim pemerintahan negeri kangguru tersebut.
Beberapa contoh perubahan besar dalam sistem pajak Australia antara lain perluasan basis PPh yakni atas keuntungan (capital gain) dan pajak tunjangan serta pengurangan tarif PPh, sebagai respons dari perluasan basis pajak tersebut pada periode 1985-1986.
Kendati demikian, perubahan sistem pajak yang dikatakan menjadi reformasi pajak terbesar di Australia justru terkait dengan penerapan pajak atas konsumsi barang dan jasa pada 2000 atau 2 dekade yang lalu.
Hingga saat ini, pajak konsumsi tersebut menjadi salah satu kebijakan publik di Australia yang dianggap berhasil oleh berbagai pemangku kepentingan, baik peneliti pajak, akademisi, pebisnis, termasuk organisasi internasional seperti OECD.
Lantas bagaimana Australia dapat mencapai keberhasilan tersebut? Binh Tran-Nam, akademisi dari Sekolah Perpajakan dan Hukum Bisnis, University of New South Wales memotret perjalanan panjang reformasi pajak atas konsumsi barang dan jasa atau PPN di Australia.
Dalam artikel berjudul “The Goods and Services Tax (GST): The Public Value of a Contested Reform”, Tran-Nam menyatakan bahwa dibalik keberhasilan tersebut, reformasi ini telah menghadapi proses yang panjang, penuh kesulitan, serta ketidakpastian.
Dalam bagian pertama artikel tersebut, penulis membahas sejarah kemunculan GST. Untuk diketahui, kehadiran GST ditujukan untuk menggantikan pajak penjualan skala besar (Wholesale Sales Tax/WST) yang telah mewarnai rezim pajak Australia sejak 1992.
Tak ketinggalan, artikel ini juga turun membahas ruang lingkup GST. Serupa dengan PPN, GST ini memiliki basis yang luas karena diterapkan pada sebagian besar produk serta dikenakan pada seluruh tahap rantai pasok produksi dan distribusi.
Berdasarkan analisis Tran-Nam, keberhasilan Australia menerapkan pajak konsumsi tersebut disebabkan adanya dukungan dari berbagai aspek. Pertama, reformasi pajak atas GST di Australia didukung penuh masyarakat.
Penilaian publik yang positif diikuti dengan bukti empiris bahwa reformasi pajak dapat menimbulkan perubahan nyata menjadi kunci dari kesuksesan penerapan pajak atas konsumsi barang dan jasa.
Alhasil, pajak konsumsi ini menjadi sumber penerimaan yang stabil bagi Australia dan tidak bersifat distorsi terhadap pembangunan.
Kedua, keberhasilan reformasi pajak juga tak terlepas dari dukungan pemangku kepentingan serta legitimasi publik untuk kebijakan tersebut. Kelembagaan dalam hal ini menjadi prasyarat bagi keberhasilan reformasi pajak.
Melalui komitmen politik yang kuat, perencanaan kebijakan yang matang, sumber pendanaan memadai, kapasitas administrasi yang kompeten, serta ketepatan pemilihan waktu implementasi, telah menghasilkan reformasi yang kuat dengan gangguan dan biaya yang minim.
Ketiga, urgensi untuk membangun harmonisasi kebijakan antar tingkat pemerintahan. Dalam proses reformasi pajak di Australia, pendekatan collaborative governance dipakai sehingga partisipasi seluruh pemerintah negara bagian dan teritori menjadi prioritas utama.
Pendekatan ini tentu memiliki konsekuensi terhadap peluang pengambilan keputusan yang lebih lambat. Meski begitu, jika konsensus antar pemerintahan tercapai, tingkat kepatuhan juga dapat lebih tinggi dan menghasilkan reformasi pajak yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, pengalaman Australia ini menyiratkan pentingnya faktor kelembagaan dan legitimasi publik dalam reformasi pajak, terutama dalam menerapkan GST.
Dari good practice ini, para akademisi, pemerhati pajak, serta pembuat kebijakan juga dapat menganalisis potensi dari pajak atas konsumsi sebagai sumber pembiayaan sektor publik.