KAMUS PAJAK

Apa Itu Hybrid Financial Instrument?

Redaksi DDTCNews
Kamis, 08 Agustus 2019 | 17.15 WIB
Apa Itu Hybrid Financial Instrument?

DALAM menjalankan bisnis, sumber pembiayaan yang dimanfaatkan perusahaan bisa beragam. Mulai dari pendanaan internal, misalnya dengan menahan laba, modal (equity financing) hingga pendanaan dari pihak eksternal seperti utang (debt financing).

Ada kalanya untuk meningkatkan pembiayaan, suatu perusahaan perlu menggunakan lebih dari satu sumber pembiayaan. Adapun salah satu instrumen keuangan yang saat ini banyak digunakan oleh perusahaan dalam melakukan investasi adalah hybrid financial instrument.

Dari sisi pertimbangan komersial, instrumen keuangan dengan menggunakan hybrid financial instrument dianggap akan memberikan keuntungan bagi perusahaan saat menghadapi risiko investasi yang besar. Tak hanya itu, dari sisi pajak, penggunaan instrumen ini juga dianggap menguntungkan.

Mengapa demikian? Sebenarnya apa yang dimaksud hybrid financial instrument itu?

Secara umum, hybrid financial instrument dapat didefinisikan sebagai instrumen keuangan yang memiliki karakteristik ekonomi yang tidak konsisten, baik secara parsial maupun secara keseluruhan terhadap bentuk legalnya.

OECD (2012) mendefinisikan hybrid financial instrument sebagai instrumen keuangan yang diklasifikasikan berbeda di antara negara-negara yang terlibat dalam transaksi instrumen tersebut. Hal yang paling menonjol dari transaksi ini adalah apabila utang di satu negara dianggap sebagai modal di negara lainnya. Instrumen keuangan yang dimaksud bisa dalam bentuk dividen maupun bunga.

Apabila dikaitkan dengan sumber pembiayaan keuangan, utang dan modal memiliki karakteristik yang berbeda. Instrumen keuangan berupa pinjaman menghasilkan imbalan bunga. Bunga pada umumnya dapat dibebankan sebagai biaya (deduction) bagi pihak yang membayar bunga dan merupakan penghasilan kena pajak (inclusion) bagi pihak yang menerima bunga.

Sebaliknya, instrumen keuangan berupa modal menghasilkan penghasilan dividen. Dividen tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deduction) bagi pihak yang membayar dividen dan pada umumnya bukan merupakan penghasilan kena pajak (non-inclusion) bagi pihak yang menerima dividen tersebut (pada umumnya hanya apabila investor mempunyai substantial ownership, misalnya kepemilikan saham di atas 25%).

Tabel 1 - Perbedaan Modal dan Utang

Sumber: Zaburaite, 2012.

Dalam aspek pajaknya, hybrid financial instrument seringkali digunakan dalam perencanaan pajak pada tingkat internasional karena terdapat perbedaan dalam pengklasifikasian dan perlakuan pajak di beberapa negara. Berikut contohnya ilustrasinya.

Gambar 1 – Ilustrasi Hybrid Financial Instrument

Sumber: OECD, 2012.

Perusahaan yang merupakan subjek pajak dalam negeri di Negara B (B Co) didanai oleh perusahaan subjek pajak dalam negeri di Negara A (A Co) dengan instrumen yang dianggap sebagai modal di Negara A (berdasarkan ketentuan domestik Negara A), tetapi dianggap sebagai utang di Negara B (berdasarkan ketentuan domestik Negara B).

Apabila pembayaran saat ini dibuat berdasarkan instrumen tersebut, pembayaran dari B Co kepada A Co atas hybrid financial instrument tersebut dapat dikurangkan oleh B Co untuk tujuan pajak di negara B. Bagi A Co, pembayaran tersebut diperlakukan sebagai dividen yang dibebaskan untuk tujuan pajak di negara A.

Hal ini menunjukkan di Negara B, pembayaran atas hybrid financial instrument tersebut dianggap sebagai pembayaran bunga atas pinjaman dari A Co kepada B Co, sedangkan di Negara A pembayaran tersebut dianggap sebagai dividen atas penyertaan modal dari A Co kepada B Co.

Hasil dari skema hybrid financial instrument ini menciptakan pengurangan di satu negara, lazimnya pengurangan beban bunga, tetapi tidak terdapat penghasilan yang dicatat sebagai penghasilan kena pajak di negara lainnya (deduction or no inclusion). Atas kasus ini dapat dikatakan telah terjadi double non-taxation atas pembayaran dari B Co kepada A Co.

Untuk mencegah terjadinya deduction or no inclusion dari hybrid financial instrument ini, beberapa negara, seperti Denmark dan UK, telah memiliki ketentuan yang dalam kasus-kasus tertentu meniadakan pengurangan atas pembayaran dari hybrid financial instrument dalam hal pembayaran tersebut tidak dikenakan pajak di negara penerima karena adanya ketidaksesuaian dalam perlakuan pembayaran atas hybrid financial instrument.

Beberapa negara lainnya, menerapkan peraturan khusus yang meniadakan pembebasan untuk penghasilan yang telah menjadi pengurang di negara lainnya sebagai langkah untuk mencegah terjadinya deduction or no inclusion dari hybrid financial instrument. Negara tersebut antara lain Austria, Denmark, Jerman, Itali, Selandia Baru, dan UK.

Dari sisi pajak global, hybrid financial instrument seringkali digunakan dalam perencanaan pajak atau untuk tujuan penghindaran pajak (tax avoidance) pada tingkat internasional karena terdapat perbedaan dalam pengklasifikasian dan perlakuan pajak di beberapa negara yang mengakibatkan peluang tax arbitrage meningkat.

Isu ini membuat OECD membahas secara mendetail dalam laporannya pada 2015 terkait proyek 15 aksi anti base erosion and profit shifting (BEPS), terutama dalam aksi ke-2 ‘Neutralising the Effects of Branch Mismatch Arrangements’. Dalam laporan itu, OECD memberikan rekomendasi untuk menangkal praktik BEPS tersebut.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.