Ilustrasi. (Foto: DDTCNews)
KALAUPUN masih bisa diterima rasio, sejujurnya agak susah mencari data pembanding yang bisa menunjukkan dengan terang dan jelas, bahwa ‘uang Rp150 triliun di bawah bantal’ seperti yang diungkapkan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi pekan lalu, adalah suatu kewajaran belaka.
Uang Rp150 triliun itu adalah uang cash keras yang disimpan di dalam rumah para wajib pajak (WP) yang dideklarasikan melalui Surat Pernyataan Harta (SPH) program amnesti pajak periode pertama Juli-September 2016. “Bayangin saja, Rp150 triliun. Bagaimana ngantonginnya coba?” kata Ken.
Beberapa penjelasan yang kemudian dikemukakan sejumlah pengamat, dalam pencermatan kami sejauh ini, tak ada yang benar-benar memadai. Mulai dari penjelasan bahwa WP tidak percaya dengan bank, WP banyak bergerak di sektor informal, sampai WP adalah pengepul banyak transaksi tunai.
Semua penjelasan tersebut mentah karena selain tak didukung data kuat, argumentasinya juga tidak meyakinkan. Bahwa ada WP yang menyimpan uang tunai di bawah bantalnya tentu itu tidak kita ragukan. Namun, menyimpannya dalam jumlah Rp150 triliun, ini yang perlu kita pertanyakan.
Atas dasar motif klasik ekonomi, WP terutama WP pengusaha atau pedagang, cenderung menghindari menyimpan uang tunai dalam jumlah besar. Kalaupun ada di antara mereka yang mau melakukannya, secara alamiah mereka akan terdorong memutar uang tersebut demi beroleh margin laba.
Jika WP dikatakan sudah tidak percaya pada bank, data Bank Indonesia menyebutkan, dalam 5 tahun terakhir ada konsistensi peningkatan simpanan sekaligus jumlah nasabah antara 18%-21%. Di sisi lain, iklim kepercayaan juga membaik, terbukti dengan terlembagakannya penjaminan simpanan.
Apabila WP lalu disebut sebagai pengepul transaksi tunai seperti gaji dan seterusnya, terutama di wilayah Indonesia Timur, bukankah uang itu tidak masuk kategori harta, karena uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain, milik karyawan, alias jenis uang yang hanya numpang lewat saja?
Hal-hal ini perlu diungkapkan karena jika pemerintah tak mampu memberi penjelasan yang memadai, di pundak para pengamat-lah publik menggantungkan kualitas informasi yang didapatnya. Jika mereka gagal menangkap apa yang sebenarnya terjadi, publik pun gagal mendapat informasi yang berkualitas.
Memang, harus diakui bahwa pajak adalah topik yang tidak mudah. Kami juga tidak bisa merasa pasti gerangan apa yang menjelaskan keberadaan uang Rp150 triliun di balik bantal tax amnesty tadi. Kami hanya bisa menduga, dan sudah tentu dugaan ini bisa diperdebatkan secara terbuka.
Pertama, WP sengaja menggelembungkan harta berupa uang tunai yang dilaporkannya dalam SPH tax amnesty. Memang, dengan penggelembungan tersebut, WP akan merugi karena dia harus membayar uang tebusan dengan nilai yang lebih besar dari yang semestinya dia bayarkan ke negara.
Namun, tentu ada ‘manfaat’ atau insentif dari kerugian tadi, misalnya untuk antisipasi pencucian uang. Perlu segera ditambahkan, pelaporan harta berupa uang tunai dalam tax amnesty tidak perlu disertai catatan atau konfirmasi apapun dan dari pihak manapun seperti pelaporan harta dalam bentuk piutang.
Kedua, WP sengaja mengubah harta yang seharusnya masuk dalam skema deklarasi luar negeri yang tarif tebusannya 4% atau repatriasi yang tarif tebusannya 2% tapi hartanya harus berada di Indonesia selama 3 tahun, menjadi masuk dalam skema deklarasi dalam negeri yang tarif tebusannya 2%.
Dengan pengelabuhan skema ini, WP memang mengambil risiko terkena sanksi besar. Namun, boleh jadi return yang diperoleh sepadan. Apalagi kalau lembaga keuangan tempat WP menyimpan uangnya di luar negeri ikut memfasilitasi atau bahkan menjamin mulusnya pengelabuhan skema ini.
Dugaan ini perlu kami ungkapkan bukan untuk tujuan artifisial, supaya tampak lebih pintar misalnya. Boleh jadi ini salah. Tetapi, ini adalah dugaan paling masuk akal yang menjelaskan dari mana datangnya uang Rp150 triliun di balik bantal tadi. Dan inilah yang sebenarnya perlu diantisipasi dari keberhasilan tax amnesty.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.