Ika Hapsari,
PANDEMI Covid-19, yang berdampak pada tingginya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), menuntut masyarakat lebih adaptif agar bisa bertahan. Fenomena gig economy menjadi bukti nyata peluang baru yang dilahirkan era disrupsi digital dan pandemi. Gig economy juga diprediksi akan menjadi tren pekerjaan masa depan pascapandemi.
McKinsey Global Institute menggunakan terminologi primary independent earner atau pencari nafkah mandiri bagi pekerja pada gig economy. Istilah ini diartikan sebagai seseorang yang memperoleh penghasilan secara independen, misalnya kreator konten, desainer grafis, trader, dan sebagainya.
Di Amerika Serikat, terdapat 57,3 juta orang pekerja lepas paruh waktu ataupun purnawaktu. Jumlah ini diestimasi akan mencapai 86,5 juta orang pada 2027 (Upwork, 2021).
Sementara di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 33,34 juta tenaga kerja lepas pada Agustus 2020, naik 26% dari tahun sebelumnya. Laporan Google Trends Data (2020) mencatat adanya peningkatan pencarian dengan kata kunci ‘jualan online’ dan ‘daftar seller’ sebesar 40% dan 55% sejak Covid-19 mewabah.
Konsekuensi logis yang muncul dari kondisi disrupsi adalah terbukanya sumber potensi pajak baru. Otoritas pajak harus peka dengan aktivitas ekonomi pada platform digital yang makin dinamis dan variatif. Melalui intervensi digital, data justru akan ditampilkan secara lebih transparan.
Histori ekonomi terekam dan dapat ditelusuri dengan presisi. Kejelian Ditjen Pajak (DJP) menjadi esensial untuk menjaring seluruh potensi pajak dari transaksi ekonomi digital, baik berorientasi pada sisi subjek maupun objek pajaknya.
Transformasi Pajak
TRANSFORMASI pajak yang revolusioner mutlak dibutuhkan untuk mengimbangi kemajuan ekonomi digital yang berkorelasi erat dengan gig economy. Hal ini dapat dicapai melalui program ekstensifikasi, intensifikasi, pelayanan, pengawasan, hingga penegakan hukum pajak yang modern dan komprehensif.
Strategi tersebut tentu diselaraskan dengan inisiatif strategis pengawasan berbasis penguasaan kewilayahan dan pengawasan wajib pajak tertentu (strategis). Ada sejumlah langkah yang dapat dipertimbangkan untuk mampu menjaring potensi dari gig economy di tengah disrupsi.
Pertama, pemanfaatan business intelligence (BI) untuk merekam serta mengolah data dan informasi sasaran pemajakan secara holistik. Hal ini terinspirasi dari kemampuan aplikasi pada ponsel pintar untuk dapat mengambil data dari jejak digital pengguna tanpa disadari.
Pengambilan data dari jejak digital itu berlanjut dengan munculnya iklan pada sosial media pengguna sesuai dengan kecenderungan minat, pencarian, bahkan sekadar pembicaraan pengguna.
Konsep senada dapat diadaptasi pajak melalui sistem yang terkoneksi dengan basis data media sosial dan aplikasi yang memuat transaksi ekonomi calon subjek pajak sasaran. Selanjutnya, sistem mengekstraksi data ekonomi atau kekayaan yang ditampilkan pengguna.
Big data ini dapat menjadi ladang penggalian potensi pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, sarana penambahan jumlah wajib pajak terdaftar, dan pengayaan basis data yang bermanfaat dalam kegiatan ekstensifikasi.
Kedua, pengaplikasian konsep deteksi anomali terotomatisasi dengan pemanfaatan data science. Sebagaimana diungkapkan data scientist Indonesia yang bekerja di Microsoft, Nurvirta Monarizqa, dalam siniar bersama Central Transformation Office (CTO) Kementerian Keuangan.
Indonesia dapat mengadaptasi program servis data analitik milik United States Department of Treasury. Program ini mampu mendeteksi anomali pembayaran pajak yang dilakukan wajib pajak dari tahun ke tahun.
Konsep deteksi anomali tersebut juga dapat diterapkan dalam konteks yang lebih luas, misalnya dalam hal pengawasan data penghasilan subjek pajak atau pembayaran atas objek pajak pada berbagai platform.
Dengan demikian, DJP dapat menentukan extra effort lanjutan, seperti penetapan pengusaha kena pajak (PKP) secara jabatan, penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), atau pemberian edukasi perpajakan pada sektor tertentu yang bermanfaat bagi pengawasan.
Ketiga, upaya meminimalisasi potential loss dan administration cost melalui pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Beleid pajak digital yang mengadopsi sejumlah kerangka aturan gig economy dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menjadi terobosan penting.
Langkah yang dapat dilakukan adalah penunjukkan lokapasar sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi ekonomi yang berada di bawah otorisasinya. Hal ini demi memberikan aspek keadilan pada pengusaha di ekosistem konvensional. Di samping itu, kerja sama dengan pemangku kepentingan terkait transparansi data transaksi ekonomi digital juga harus segera dimanifestasi.
Keempat, pengimplementasian sistem layanan terintegrasi berbasis pengalaman pengguna (user experience). Pakar bisnis memproyeksikan tipe penjualan di lokapasar pada tiga atau lima tahun ke depan akan mengadaptasi konsep augmented reality.
Metode ini memberikan gambaran nyata bagi calon pembeli saat memilih produk, yakni tentang tampilan produk saat digunakan. Adaptasi augmented reality dapat mempengaruhi minat pembeli melalui kemudahan akses dan kecanggihannya. Layanan pajak masa depan seharusnya juga demikian.
Proses bisnis layanan perpajakan menawarkan kemudahan dan kesederhanaan yang berbasis pada pengalaman pengguna. Kualitas pelayanan mendorong peningkatan kesadaran. Hal ini berimplikasi pada perubahan perilaku dan peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Kelima, integrasi data dengan unit vertikal kementerian/lembaga lainnya. Pasalnya, aspek ini menjadi sangat krusial mengingat satu wajib pajak dapat terdaftar pula sebagai pengguna jasa pada unit lainnya.
Untuk itu, optimalisasi Unified Revenue Account Management (URAM) sebagai inisiatif strategis reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan Kementerian Keuangan adalah langkah yang revolusioner untuk membangun data-driven organization.
Gig economy adalah salah satu sektor brilian yang dapat menjadi opsi penerimaan pajak kini dan nanti. Publik tentu menaruh harapan tinggi pada Pembangunan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diekspektasikan mampu mengakomodasi potensi dan menutup celah loss yang muncul.
Tak pelak, penataan ulang organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, serta peraturan perundang-undangan harus terus diakselerasi melalui kerangka besar reformasi pajak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.