Fajarizki Galuh Syahbana Yunus,
“PERUSAHAAN harus membayar ganti rugi atas dampak negatif dari pembangunan pabrik di tengah pemukiman warga,” ucap Pigou dalam bukunya yang berjudul The Economics of Welfare (1920). Cuplikan ini sekilas tampak mirip dengan situasi saat ini, terutama menyangkut isu lingkungan.
Ya, isu lingkungan terkait dengan kualitas udara di Indonesia kembali mencuat. Berbagai media internasional turut menyoroti kondisi kualitas udara ibu kota. Dengan kualitas udara yang buruk, Jakarta dikelompokkan sebagai kota tidak layak huni.
Air Quality Index United States (AQI US) mencatat rata-rata kualitas udara harian Jakarta berada di zona merah, yakni berkisar 140 hingga 165 poin. Jakarta sempat menduduki posisi kedua sebagai ibu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia (IQAIR, 2023).
Tidak hanya Jakarta, kualitas udara berbagai kota di Indonesia juga cukup mengkhawatirkan. Kondisi ini disebabkan oleh akumulasi beragam partikel berbahaya di udara yang berasal dari berbagai sumber pencemar (Leni, 2020).
Sektor transportasi dan industri energi disebut-sebut menjadi kontributor polutan terbesar. Dalam sebuah siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kedua sektor tersebut menyumbang polutan berbahaya, masing-masing sebesar 44% dan 31%.
Berbagai strategi digagas guna mengatasi permasalahan itu. Salah satunya adalah pengurangan atas pemanfaatan energi fosil melalui penutupan sejumlah PLTU. Di samping itu, melalui UU HPP, DPR dan pemerintah juga telah sepakat dengan adanya pengenaan pajak karbon.
Skema cap-and-tax dan cap-and-trade diterapkan. Skema ini tertuang dalam rencana peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon. Tiga sektor utama yang menjadi target prioritas adalah industri energi, transportasi, dan kehutanan. Jika diterapkan, kebijakan ini diharapkan mampu menekan tingkat emisi karbon di Indonesia.
Namun, apakah upaya ini efektif? Pemerintah sejauh ini menetapkan tarif minimal pajak karbon sebesar Rp30,00 per kilogram karbon atau setara dengan US$1,97/tCO2e (kurs 2 September 2023). Sebagai salah satu negara dengan emisi karbon terbesar di dunia, tarif ini tergolong cukup rendah.
Kebijakan tarif tersebut agaknya kurang memberikan efek kejut terhadap pelaku industri terkait. Para pelaku industri tentu akan cukup mudah dalam merespons regulasi ini. Pengurangan jumlah pegawai atau alih fungsi teknologi akan dioptimalkan dalam mengantisipasi potensi kenaikan beban pajak. Alih-alih mengurangi emisi karbon, kebijakan ini berpotensi memperbesar angka pengangguran.
Di samping itu, perusahaan multinasional justru melihat skema regulasi ini sebagai peluang tax planning (Suandy, 2011). Hal ini mengingat tingginya tarif pajak karbon yang berlaku di negara lain. Indonesia makin rentan menjadi target eksodus industri mancanegara. Alhasil, polusi udara di Indonesia justru berisiko kian memburuk.
MEMASUKI tahun politik, masa depan pajak karbon menjadi salah satu topik bahasan yang seharusnya sangat penting. Struktur regulasi yang menyimpan banyak celah patut diantisipasi mengingat isu perubahan iklim tengah menjadi fokus utama.
Terdapat 3 strategi lanjutan yang dapat diusung sebagai penyempurna kebijakan yang sudah ada. Pertama, pemberlakuan skema tarif progresif pajak karbon. Skema ini dapat diterapkan dengan mengacu pada tingkat emisi karbon yang dihasilkan para pelaku industri. Implementasi gagasan ini agaknya akan menciptakan skema pemajakan yang lebih ideal dan berkeadilan.
Skema tarif tunggal tampak kurang optimal dalam menurunkan tingkat emisi karbon. Dengan tarif yang tergolong sangat murah, beban pajak yang ditanggung para pelaku industri terasa ringan.
Sebaliknya, skema tarif progresif memungkinkan beban pajak terdistribusi secara proporsional seiring dengan peningkatan emisi karbon yang dihasilkan. Hal ini akan memaksa para pelaku industri untuk membatasi volume emisi karbon agar terhindar dari beban pajak yang berat.
Kedua, pemberian insentif pajak bagi perusahaan yang menerapkan skema ekonomi hijau atau green economy. Pada hakikatnya, tujuan kebijakan pajak karbon adalah mendorong para pelaku industri agar menerapkan prinsip eco-friendly dalam aktivitas fabrikasinya. Prinsip ini memungkinkan para pelaku bisnis mampu meraup profit maksimal tanpa merusak lingkungan (Loiseau, 2016).
Namun, estimasi biaya investasi yang digelontorkan tidaklah murah. Oleh karena itu, kebijakan pajak karbon hendaknya dibarengi dengan pemberian insentif pajak atas penerapan skema ekonomi hijau. Regulasi pemberian insentif ini berperan sebagai garansi atas komitmen para pelaku industri dalam menciptakan iklim bisnis yang ramah lingkungan.
Ketiga, percepatan implementasi pengenaan pajak karbon atas sektor transportasi. Berdasarkan pada peta jalan yang dirilis, skema pajak karbon pada sektor ini memang diagendakan berlaku mulai 2025. Namun, rencana ini perlu dipercepat mengingat pertumbuhan volume kendaraan bermotor di Indonesia kian masif dalam kurun 5 tahun terakhir.
Selain pajak karbon, pemerintah juga perlu melakukan transformasi struktur tarif progresif yang berlaku atas pajak kendaraan bermotor. Sejauh ini, tarif progresif menurut UU HKPD ditetapkan maksimal sebesar 2% untuk kepemilikan pertama serta 10% untuk kepemilikan kedua dan seterusnya.
Perubahan struktur tarif patut digagas sebagai upaya penurunan emisi karbon pada sektor ini. Terlebih, sektor transportasi merupakan sektor penyumbang polutan terbesar di Indonesia. Pemerintah dapat mengadopsi model kebijakan yang diterapkan beberapa negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS). Kedua negara ini mematok tarif pajak tinggi atas kepemilikan kendaraan bermotor.
Kembali mengutip pemikiran Pigou, pajak karbon dapat menjadi alat kontrol pemerintah dalam mengatasi isu perubahan iklim. Periode pergantian pemimpin menjadi momen yang tepat untuk menyempurnakan regulasi pajak karbon yang ada. Dengan adanya skema pajak pigovian yang andal, Indonesia dapat mewujudkan iklim ekonomi yang masif dan berkelanjutan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.