LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Usulan Kebijakan Pajak dalam Upaya Keluar dari Middle Income Trap

Redaksi DDTCNews | Selasa, 03 Oktober 2023 | 12:15 WIB
Usulan Kebijakan Pajak dalam Upaya Keluar dari Middle Income Trap

Fauziah Isfahani,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat

INDONESIA tengah memasuki tahun politik dengan agenda pemilu serentak pada 2024. Dalam gelaran pesta demokrasi, para peserta pemilu berlomba-lomba menawarkan berbagai rencana program kerja yang diusung. Banyak isu strategis yang dapat disasar melalui program kerja para peserta pemilu.

Salah satu isu strategis yang layak muncul adalah strategi Indonesia untuk keluar dari middle income trap. Mengingat status Indonesia saat ini sebagai middle income country, pembahasan strategi untuk keluar dari middle income trap rasanya menjadi sebuah keharusan.

Menurut Iannone (2021), risiko tidak beranjaknya negara dari status middle income dapat dipengaruhi persepsi negatif masyarakat terhadap fiskus. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap fiskus menyebabkan penurunan tingkat kepatuhan pajak secara kolektif.

Penurunan tingkat kepatuhan tersebut membuat negara sulit mengumpulkan penerimaan pajak secara optimal. Padahal, penerimaan pajak masih menjadi kontributor terbesar dalam total pendapatan negara.

Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan perubahan strategis dalam kebijakan pajak di Indonesia. Paling tidak terdapat 3 strategi yang dapat dikaji oleh para calon presiden. Adapun strategi ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam memulihkan trust wajib pajak kepada fiskus.

Optimalisasi Pajak Orang Kaya

KEPERCAYAAN (trust) dan ketimpangan ekonomi (economic inequality) tidak dapat dipisahkan. Dalam konteks ini, salah satu gagasan yang menarik untuk mengatasi ketimpangan tersebut adalah pemajakan orang kaya di Indonesia. Terlebih, ada fungsi redistribusi dalam pajak.

Economic Policy Institute (2022) menjelaskan sejak 1979-2021, tingkat kesenjangan distribusi penghasilan antara pemilik modal dan pekerja makin membesar hingga mencapai hampir 4 kali lipat. Di sisi lain, orang kaya membayar dengan persentase tarif pajak efektif jauh lebih rendah daripada pekerja.

Data Organization for Economic Co-operation and Development (2023) juga menegaskan persentase kontribusi penerimaan PPh orang pribadi di Indonesia secara signifikan lebih rendah daripada porsi penerimaan pph orang pribadi di negara-negara Asia Pasifik, Afrika, dan anggota OECD.

Hal tersebut mengindikasikan sistem perpajakan yang ada saat ini masih terlalu ‘menguntungkan’ orang kaya. Selain itu, masih terdapat potensi pemajakan orang pribadi yang belum direalisasikan secara optimal.

Penting untuk dipahami bahwa terdapat perbedaan karakteristik sumber penghasilan antara kebanyakan orang kaya dan orang pribadi lainnya. Mayoritas orang kaya memiliki sumber penghasilan dari modal dengan tarif pajak efektif lebih rendah ketimbang tarif pajak gaji para pekerja.

Oleh karena itu, langkah logis untuk mulai memajaki orang kaya adalah dengan meminimalisasi pengaturan perpajakan yang ‘menguntungkan’ orang kaya di Indonesia. Pemerintah bisa mulai dengan mengenakan kembali pajak penghasilan atas dividen bagi orang pribadi.

Pascaterbitnya UU Cipta Kerja, penghasilan atas dividen bagi orang pribadi bukan merupakan objek pajak penghasilan apabila memenuhi ketentuan tertentu terkait reinvestasi dan pelaporannya. Harapannya, kebijakan tersebut dapat meningkatkan minat investasi masyarakat.

Namun, kebijakan ini sebenarnya tidak terlalu efektif dalam memengaruhi minat investasi masyarakat Indonesia. Mayoritas masyarakat sebenarnya lebih sensitif atas perubahan harga saham ketimbang terhadap daya tarik penghasilan dividen. Pemajakan kembali dividen tentunya akan menjaga napas progresivitas yang merupakan prinsip utama dalam pengenaan pajak penghasilan di Indonesia.

Peningkatan Kontribusi Sektor Informal

TANTANGAN lain yang juga harus segera ditangani oleh pemerintah dalam mengembalikan kepercayaan publik adalah mengoptimalkan kontribusi sektor informal dalam penerimaan pajak di Indonesia.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meyakini nilai shadow economy di Indonesia berkisar antara 8,3% sampai dengan 10% dari total PDB Indonesia. Jumlah tersebut berpotensi mendistorsi ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Namun, di lain sisi, data tersebut juga menunjukkan masih terdapat potensi pajak yang sangat besar dari sektor informal di Indonesia. Untuk meminimalisasi potential loss penerimaan pajak dari sektor informal dibutuhkan serangkaian strategi yang terintegrasi.

Pemerintah sebaiknya melakukan penyisiran guna mengidentifikasi area atau lokasi sektor ekonomi informal tersebut berlangsung. Hal tersebut dilakukan agar pemerintah dapat menentukan prioritas penanganan tindakan.

Selanjutnya, fiskus menyediakan edukasi perpajakan kepada para pelaku usaha di sektor informal tersebut. Fiskus perlu menjabarkan peran wajib pajak dalam membangun negara sekaligus cara untuk berkontribusi di dalamnya. Edukasi pajak tersebut diharapkan berjalan secara berkesinambungan dengan pengawasan yang dilakukan.

Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan infrastruktur yang mendukung pemajakan shadow economy dengan menitikberatkan pada kemudahan dan kenyamanan. Contoh yang dapat dilakukan pemerintah saat ini adalah dengan menunjuk penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sebagai pemotong/pemungut pajak pada ekonomi digital.

Penunjukkan tersebut akan sangat membantu pemerintah dalam pemungutan pajak pada shadow economy. Untuk mendorong minat atas konsep tersebut, pemerintah dapat memberikan berbagai insentif yang dapat menarik minat wajib pajak seperti penyelenggara PMSE untuk membantu. Kolaborasi dengan pihak terkait, misalnya perbankan, juga merupakan kunci dalam pemajakan shadow economy.

Penerapan Sanksi Administratif Pajak

WHEN in Rome, do as the Romans do. Untuk dapat menjadi high income country, Indonesia seharusnya bersikap seperti negara-negara tersebut.

Negara maju memiliki ketegasan dalam memberikan punishment terkait pelanggaran di bidang perpajakan. Salah satunya dalam bentuk besaran sanksi administratif yang tinggi guna mencegah sekaligus memberikan efek jera kepada wajib pajak yang ‘nakal’ atau lalai dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Saat ini, beberapa besaran sanksi administratif bahkan lebih rendah daripada bunga yang harus ditanggung apabila meminjam uang dari lembaga keuangan. Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang mengenai besaran sanksi administratif perpajakan dengan mempertimbangkan tujuan semula dari pengenaan sanksi itu sendiri, yaitu preventif dan represif.

Strategi perpajakan Indonesia untuk keluar dari middle income trap melibatkan berbagai perubahan mendasar pada aspek administrasi perpajakan Indonesia saat ini. Pemajakan orang kaya dan shadow economy serta perubahan besaran sanksi administratif merupakan gagasan alternatif yang menarik untuk dipertimbangkan.

Pemerintahan baru nantinya harus melakukan strategi perpajakan yang agresif dalam mewujudkan cita-cita kita semua, yaitu terbebas dari status middle income trap dan menjadi high income country.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 18 Mei 2024 | 15:00 WIB IBU KOTA NUSANTARA (IKN)

WP Penerima Tax Holiday IKN Juga Berhak Dapat Pembebasan PPh Potput

Sabtu, 18 Mei 2024 | 11:30 WIB PER-6/PJ/2011

Berapa Batas Nilai Zakat yang Bisa Dijadikan Pengurang Pajak?

BERITA PILIHAN