Gedung bertingkat terlihat dari kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (5/5/2023). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun 2023 mencapai 5,03 persen secara tahunan (yoy) yaitu mengalami kontraksi 0,92 persen dibandingkan pada kuartal IV tahun 2022. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nym.
JAKARTA, DDTCNews - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini hanya akan mencapai 4,7% dan selanjutnya bakal menyentuh 5,1% pada 2024.
Menurut OECD, perekonomian Indonesia mendapatkan manfaat dari peningkatan harga komoditas. Namun, pertumbuhan upah riil yang rendah bakal menahan laju konsumsi rumah tangga.
"Dicabutnya pembatasan kegiatan masyarakat telah memulihkan sektor jasa. Namun, konsumsi masih berada di bawah tren prapandemi," tulis OECD dalam OECD Economic Outlook yang dirilis bulan ini, dikutip pada Rabu (14/6/2023).
Sebagai contoh, pembelian sepeda motor tercatat masih 10% lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata sebelum pandemi Covid-19. "Kehatian-hatian konsumen mencerminkan pertumbuhan upah riil yang lemah," tulis OECD.
Dari sisi investasi, pembelian semen dan impor mesin juga masih belum sepenuhnya pulih. Dengan demikian, kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi masih cenderung lemah meski pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastruktur.
Akibat besarnya pengaruh harga komoditas terhadap perekonomian domestik, OECD berpandangan perekonomian Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh faktor geopolitik, keuangan global, dan perdagangan internasional.
"Ketergantungan Indonesia terhadap komoditas dan remitansi membuat perekonomiannya sangat rentan terhadap perkembangan eksternal. Walau fundamental perekonomian mengalami perbaikan, pergerakan pasar dapat memberikan efek kejut terhadap ekonomi secara substansial," tulis OECD.
Untuk mengatasi masalah ini, OECD merekomendasikan kepada Indonesia untuk meningkatkan partisipasinya dalam rantai pasok global melalui pengembangan industri baterai listrik di dalam negeri. Menurut OECD, kebijakan ini perlu senantiasa dimonitor dan dievaluasi. (sap)