LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Transparansi dan Upaya Mendapat Kepercayaan Wajib Pajak

Redaksi DDTCNews | Selasa, 21 September 2021 | 17:20 WIB
Transparansi dan Upaya Mendapat Kepercayaan Wajib Pajak

Lisno Setiawan,
Bogor, Jawa Barat

PANDEMI Covid 19 telah menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Pendapatan negara, termasuk penerimaan perpajakan, ikut turun. Sebelum pandemi, IMF, OECD, dan World Bank telah memberi catatan mengenai tantangan dari sisi penerimaan perpajakan negara berkembang.

Tantangan itu seperti masih lemahnya administrasi perpajakan, rendahnya kepatuhan wajib pajak, serta minimnya kontribusi sektor ekonomi penyumbang penerimaan. Perbaikan transparansi di bidang perpajakan diyakini mampu memperkuat keuangan publik.

Secara prinsip, international tax transparency standards menjadi acuan bagi negara-negara. Tujuannya untuk mengungkap struktur pajak secara institusional serta memastikan informasi pajak yang merefleksikan besaran aset dan aktivitas wajib pajak.

Beberapa hal yang terkait dengan transparansi perpajakan antara lain pertama, transparansi sistem keuangan dan kaitannya dengan perpajakan. Kedua, digitalisasi dengan tetap menjaga kerahasiaan dan privasi data wajib pajak pada saat transparansi keuangan.

Ketiga, pertukaran informasi melalui pelaksanaan tax transparency and exchange of information (EoI). Keempat, efektivitas administrasi perpajakan. Kelima, kepatuhan wajib pajak. Pelaporan secara transparan dapat meningkatkan kepatuhan melalui proses peradilan yang kredibel.

Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menikmati manfaat transparansi perpajakan. Dari data AEoI pada2018 diketahui saldo rekening yang berpotensi menjadi basis pajak senilai Rp2.742 triliun (inbound) dan Rp3.574 triliun (domestik).

Dari saldo itu, telah dipetakan menjadi potensi penghasilan inbound senilai Rp683 triliun. Wujudnya berupa dividen, bunga, penjualan, dan penghasilan lain. Penghasilan inbound merupakan basis penghasilan yang menjadi hak pemajakan atas subjek pajak luar negeri bagi pemerintah Indonesia.

Dengan data tersebut, pemerintah menyandingkan dengan Surat Pemberitahuan (SPT). Hingga sekarang, data yang telah terklarifikasi dalam SPT senilai Rp7 triliun (6.055 wajib pajak). Sementara itu, data yang sedang diklarifikasi kepada wajib pajak senilai Rp676 trilliun (50.095 wajib pajak).

Dari sisi administrasi, manfaat transparansi dapat dilihat dari kenaikan kepatuhan wajib pajak dalam pelaporan SPT. Digitalisasi dan sosialisasi yang masif membuat peningkatan jumlah wajib pajak mencapai 49,82 juta pada 2021. Jumlah ini meningkat 105,9% dibandingkan dengan posisi pada 2012 yang hanya 24,2 juta.

Selanjutnya, kemudahan proses pelaporan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Hal ini diindikasikan dengan pelaporan SPT yang meningkat drastis hingga 78% dari wajib SPT pada 2020 dibandingkan dengan 52% pada 2012.

Selain proses pelaporan yang telah menggunakan e-filing, program sunset policy dan tax amnesty menjadi pemicu kepatuhan. Program sunset policy pada 2008 berhasil menambah 5,6 juta wajib pajak baru. Program tax amnesty membuat kenaikan rasio pelaporan SPT mencapai 73% pada 2017. Rasio ini dijaga secara konsisten dan ditingkatkan sehingga mencapai 78% pada 2020.

Kepercayaan Masyarakat

IMPLEMENTASI transparansi dalam sistem perpajakan telah memberikan hasil nyata dalam peningkatan kepatuhan wajib pajak dan penerimaan negara. Namun, masih ada unsur transparansi untuk menunjang penerimaan perpajakan. Unsur ini sangat relevan dengan sistem demokrasi, yaitu partisipasi warga.

Pada dasarnya, kepercayaan warga negara untuk membayar pajak didasarkan pada pertanyaan penting yang dapat dirumuskan sebagai 1 H dan 2 W. Adapun 1 H di sini adalah ‘how much taxes they exactly pay?’ atau ‘berapa mereka harus membayar?’.

Sementara 2 W yaitu ‘why they pay taxes?’ atau ‘mengapa mereka harus bayar?’ serta ‘what the tax revenues are used for?’ atau ‘untuk apa penerimaan pajak tersebut digunakan?’. Di beberapa negara, terutama negara berkembang, kepercayaan dalam administrasi perpajakan dan pemerintah sangat rendah.

Perbaikan sistem perpajakan telah dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan wajib pajak. Berdasarkan pada data World Bank, perusahaan yang melakukan pembayaran nonformal kepada pejabat publik untuk urusan bea cukai, pajak, izin, peraturan, layanan, dan sejenisnya mencapai 14,9% pada 2009. Angka tersebut meningkat pada 2015 sehingga mencapai 21%.

Dari sisi kemudahan berusaha, skor indikator paying taxes mengalami perbaikan signifikan (business friendly). Pada 2021, skor paying taxes berada pada level 81 atau meningkat 67 poin dibandingkan dengan performa pada 2016 yang berada pada level 148.

Perbaikan skor indikator paying taxes tersebut tidak terlepas dari adanya kebijakan pengurangan tarif pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap (BUT), dan wajib pajak badan go public pada 2020.

Persoalan kepercayaan juga tidak bisa dilepaskan dari indeks persepsi korupsi Indonesia yang masih berada pada posisi 102. Hal ini memang menjadi salah satu tantangan yang juga memengaruhi persepsi keuangan negara. Tidak hanya pajak, tetapi juga instrumen lain seperti belanja negara.

Perbaikan sistem keuangan negara secara holistik akan menimbulkan confidence yang kuat bagi warga negara terhadap pemerintah. Hal ini akan mendorong penerimaan pajak yang berbasis voluntary. Lebih dari itu, akan ada semangat kegotongroyongan sehingga semua lapisan masyarakat bersama-sama mampu bergerak maju.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN