Senior Economist World Bank Rong Qian.
JAKARTA, DDTCNews - Indonesia perlu mengumpulkan lebih banyak penerimaan pajak guna mendukung upaya untuk menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045.
Senior Economist World Bank Rong Qian mengatakan penerimaan pajak Indonesia masih tergolong rendah akibat tingginya tax gap. Tax gap dimaksud timbul akibat beragam policy gap, compliance gap, dan 2 faktor struktural.
"Kami mencatat bahwa policy gap timbul akibat tingginya threshold pengusaha kena pajak (PKP) yang berlaku Indonesia, yakni 60 kita dari pendapatan per kapita Indonesia," ujar Rong Qian dalam peluncuran Indonesia Economic Prospects (IEP) 2024 oleh World Bank pada hari ini, Senin (16/12/2024).
Threshold yang berlaku di Indonesia jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang berlaku di negara berkembang dan negara maju. Akibat tingginya threshold PKP, sebanyak 99% dari total perusahaan Indonesia terbebas dari kewajiban untuk memungut dan menyetorkan PPN.
Terkait dengan PPh badan, Rong Qian mengatakan Indonesia memberikan beragam beragam pengecualian dan perlakuan khusus yang tidak banyak diterapkan di negara lain, seperti pengurangan tarif PPh badan bagi UMKM dan perusahaan yang terdaftar di bursa efek, PPh final untuk sektor konstruksi, dan PPh final UMKM.
"Threshold PPN yang tinggi serta beragam fasilitas dan perlakuan khusus pada sistem PPh telah mempersempit basis pajak," ujar Rong Qian.
Adapun compliance gap Indonesia tergolong tinggi akibat rendahnya pemeriksaan yang dilakukan oleh otoritas pajak. Lebih lanjut, banyak pemeriksaan dilakukan terhadap wajib pajak yang mengajukan restitusi.
"Jadi pemeriksaan yang dilakukan bukanlah pemeriksaan untuk menangkal pengelakan pajak, melainkan pemeriksaan rutin sebelum pengajuan restitusi," ujar Rong Qian.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh World Bank, tercatat bahwa setidaknya 1 dari 4 wajib pajak di Indonesia melakukan pengelakan pajak. Pengelakan pajak dilakukan utamanya oleh noneksportir, wajib pajak yang menganggap pajak sebagai hambatan bisnis, dan wajib pajak yang berkompetisi dengan sektor informal.
Terakhir, Rong Qian mengatakan 2 faktor struktural yang mendorong tax gap Indonesia adalah rendahnya financial depth dan tingginya informalitas perekonomian.
Rong Qian mengatakan pengembangan dan pendalaman sektor keuangan mampu meningkatkan kepatuhan pajak. Dengan meningkatnya sistem keuangan formal, otoritas pajak dapat dengan mudah melacak aset dan penghasilan wajib pajak guna menekan praktik pengelakan pajak.
Saat ini, akses pelaku usaha terhadap kredit dan instrumen keuangan masih tergolong terbatas. Kepatuhan pajak dipercaya akan meningkat bila Indonesia mampu meningkatkan akses wajib pajak terhadap kredit dan instrumen keuangan. (sap)