RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPN atas Klaim Layanan Garansi Suku Cadang Mobil

DDTC Fiscal Research and Advisory
Jumat, 13 Desember 2024 | 16.30 WIB
Sengketa PPN atas Klaim Layanan Garansi Suku Cadang Mobil

Ilustrasi.

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak pertambahan nilai (PPN) atas klaim layanan warranty atas suku cadang mobil.

Otoritas pajak menilai bahwa wajib pajak belum melaporkan penyerahan jasa terkait klaim layanan warranty atas suku cadang mobil. Dengan kata lain, terdapat nilai PPN yang kurang dibayar dan menyebabkan adanya koreksi DPP PPN.

Sebaliknya, wajib pajak berpendapat bahwa klaim layanan warranty suku cadang mobil bukan merupakan jasa yang terutang PPN. Sebab, biaya tersebut merupakan reimbursement yang dibayarkan oleh X Co atas klaim garansi yang diajukan oleh dealer.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian dari seluruh pokok sengketa banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa koreksi DPP PPN yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Put-50490/PP/M.XVIB/16/2014 tanggal 13 Februari 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 23 Mei 2014.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi DPP PPN atas objek klaim layanan warranty suku cadang mobil yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak Yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai informasi, Termohon PK beroperasi di bidang otomotif dan melakukan penjualan mobil dan suku cadang melalui jaringan dealer di Indonesia.

Dalam sengketa ini, Termohon PK menerima tagihan dari dealer selaku pihak yang memberikan layanan warranty suku cadang mobil. Selanjutnya, Termohon PK membebankan kembali tagihan tersebut kepada X Co dalam bentuk biaya reimbursement. Sebab, layanan tersebut dilakukan atas nama X Co selaku pemegang merek mobil internasional.

Pemohon PK berargumen bahwa tagihan atas layanan warranty yang ditagihkan kepada X Co merupakan imbalan atas jasa yang terutang PPN. Setidaknya, terdapat tiga argumentasi yang diajukan oleh Pemohon PK untuk mendukung pendapat ini.

Argumentasi pertama, Termohon PK dianggap memberikan imbalan jasa karena memberikan kemudahan dalam pelaksanaan layanan warranty suku cadang milik X Co. Berdasarkan buku manual warranty, Termohon PK bertanggung jawab untuk memastikan teknis informasi, pelatihan, dan pengawasan terhadap dealer. Oleh karena itu, Termohon PK sebenarnya telah melakukan penyerahan jasa yang terutang PPN kepada X Co.

Argumentasi kedua, Termohon PK telah menerima dan mengkreditkan pajak masukan atas faktur pajak yang diterbitkan oleh dealer. Pemohon PK berpendapat bahwa Termohon PK tidak bertindak sebagai pihak yang menanggung beban pajak dan bukan merupakan konsumen akhir. Oleh karena itu, Termohon PK seharusnya juga memungut PPN keluaran atas biaya reimbursement tersebut dari X Co.

Argumentasi ketiga, mekanisme atas layanan warranty suku cadang yang dilakukan oleh Termohon PK tidak termasuk dalam kategori transaksi reimbursement. Pemohon PK berpendapat bahwa biaya reimbursement yang tidak terutang PPN setidaknya harus merujuk pada Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-1047/PJ.322/2004 tentang Penjelasan Pengertian Penggantian dan Reimbursement.

Beleid tersebut menjelaskan bahwa suatu transaksi dapat dianggap sebagai biaya reimbursement jika tagihan pihak ketiga diterbitkan atas nama penerima jasa atau pihak pertama (dalam hal ini X Co). Namun, tagihan yang diajukan oleh dealer nyatanya merupakan tagihan yang ditujukan kepada Termohon PK. .

Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menyatakan bahwa koreksi DPP PPN atas biaya reimbursement tersebut sudah sesuai dan dapat dipertahankan.

Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan argumentasi Pemohon PK. Menurut Termohon PK, biaya reimbursement atas layanan warranty yang dibayarkan oleh X Co bukan merupakan jasa yang terutang PPN. Sebab, PPN atas penyerahan jasa warranty yang diberikan oleh dealer kepada pembeli atau pelanggan telah dipungut sebelumnya sebagai bagian dari harga jual mobil yang dibeli.

Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding Termohon PK dan menetapkan pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil dianggap sudah tepat dan benar. Setidaknya terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, alasan-alasan permohonan Pemohon PK untuk mempertahankan koreksi DPP PPN senilai Rp1.365.228.860 tidak dapat dibenarkan. Sebab, pembayaran yang diterima oleh Termohon PK merupakan realisasi biaya reimbursement atas layanan warranty yang diselenggarakan untuk X Co. Dengan demikian hal tersebut bukan merupakan pemberian jasa yang terutang PPN. Adapun dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap di dalam persidangan.

Kedua, setelah dilakukan uji bukti oleh para pihak di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, koreksi terhadap Termohon PK tidak dapat dipertahankan. Sebab, koreksi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, tidak ada putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 s.t.d.d Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).

Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan begitu, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Felix Bahari/sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.