RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pembuktian atas pemenuhan syarat untuk memperoleh pembebasan bea masuk.
Perlu dipahami, wajib pajak telah melakukan impor barang berdasarkan pemberitahuan impor barang (PIB) No. 150170 pada 17 April 2012. Terhadap impor barang tersebut dapat diberikan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan yang telah diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor kembali.
Otoritas kepabeanan menyatakan wajib pajak tidak terbukti telah merakit dan mengekspor kembali barang yang telah diimpornya. Hal ini dikarenakan wajib pajak tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban atas realisasi ekspor dalam jangka waktu 12 bulan.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan pihaknya sudah melakukan ekspor atas barang yang diimpornya sebagai syarat memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk. Laporan pertanggungjawaban atas ekspor juga telah dibuat dan diserahkan kepada otoritas kepabeanan dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, dapat mengunjungi laman Sekretariat Pengadilan Pajak atau di sini.
WAJIB pajak mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penerbitan surat penetapan oleh otoritas kepabeanan. Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai wajib pajak tidak dapat membuktikan barang yang diimpor telah dirakit dan diekspor kembali. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak diserahkannya laporan pertanggungjawaban ekspor oleh wajib pajak kepada otoritas kepabeanan.
Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan menolak seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. 60810/PP/M.XVIIA/19/2015 tanggal 8 April 2015, wajib pajak mengajukan permohonan PK secara tertulis ke Pengadilan Pajak pada 11 Agustus 2015.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi atas bea masuk dan sanksi denda administrasi sebesar Rp168.972.000 yang dipertahankan oleh Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi Termohon PK dan putusan Pengadilan Pajak yang mengenakan bea masuk dan denda administratif kepadanya. Perlu diketahui, Pemohon PK merupakan perusahaan yang telah memenuhi persyaratan untuk pembebasan bea masuk atas impor barang.
Pembebasan tersebut dapat diberikan atas impor barang dan bahan yang diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan diekspor kembali. Pemohon PK berdalil pihaknya sudah melakukan ekspor atas barang yang diimpornya sebagai syarat memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk. Laporan pertanggungjawaban atas ekspor juga telah dibuat dan diserahkan kepada otoritas kepabeanan dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan.
Secara kronologis, Pemohon PK telah melakukan impor barang dengan PIB No.150170 pada 17 April 2012. Setelah barang sampai di Indonesia, Pemohon PK kemudian mengekspor barang yang dimaksud dengan pemberitahuan ekspor barang (PEB) No. 0400300/058303 pada 29 Januari 2013 dan membuat laporan pertanggungjawaban ekspornya.
Mengacu pada kronologi tersebut, Pemohon PK telah memenuhi persyaratan untuk mendapat fasilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) huruf k UU Kepabeanan. Selain itu, Pemohon PK menilai dasar hukum yang digunakan oleh Pengadilan Pajak sudah diperbarui melalui aturan yang terbaru.
Dalam hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutus sengketa berdasarkan pada Pasal 23 huruf e Peraturan Menteri Keuangan No. 580/KMK.04/2003 yang mengatur pengenaan sanksi denda administratif paling sedikit 100% dan paling banyak 500% dari bea masuk yang seharusnya dibayar. Padahal, aturan tersebut telah dicabut dan diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.04/2013.
Terhadap dalil Pemohon PK tersebut, Termohon PK menyatakan menolak semua pernyataan Pemohon PK. Termohon PK menyatakan Pemohon PK tidak berhak memanfaatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor.
Sebab, Pemohon PK tidak pernah merakit dan mengekspor kembali barang yang telah diimpor. Selain itu, Pemohon PK juga tidak menyerahkan atau menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi ekspor dalam jangka waktu yang ditetapkan.
Dengan kata lain, Pemohon PK seharusnya tetap wajib membayar bea masuk atas impor, tetapi tidak dibayarkan. Oleh karena itu, Termohon PK memutuskan untuk menagih biaya bea masuk beserta sanksi administratif berupa denda 500% kepada Pemohon PK.
MAHKAMAH Agung menyatakan alasan-alasan permohonan PK yang diajukan Pemohon PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menolak permohonan banding tidak dapat dipertahankan. Adapun pertimbangan Mahkamah Agung ialah sebagai berikut.
Pertama, penetapan bea masuk dan denda administratif atas importasi barang senilai Rp168.972.000 tidak dapat dipertahanakan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, dalam perkara a quo, Pemohon PK telah melakukan impor barang dengan PIB No.150170 pada 17 April 2012. Setelah barang sampai di Indonesia, Pemohon PK kemudian mengekspor barang yang dimaksud dengan PEB No. 0400300/058303 pada 29 Januari 2013.
Adapun Pemohon PK memang berhak mendapakan fasilitas pembebasan bea masuk atas kegiatan impor yang dilakukannya berdasarkan pada Pasal 26 ayat (1) huruf k UU Kepabeanan. Sebab, Pemohon PK telah memenuhi beberapa persyaratan, yakni barang yang diimpor telah dirakit, diekspor kembali dalam kurun waktu 12 bulan serta dilakukan pemeriksaan fisik.
Oleh karena itu, Mahkamah Agung menyatakan koreksi Termohon PK tidak dapat dipertahankan. Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, Majelis Hakim Agung memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan PK dan membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-60810/PP/M.XVIIA/19/2015.
Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan harus membayar biaya perkara. Putusan ini diucapkan oleh Hakim Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 8 Desember 2016.