RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa gugatan atas penerbitan surat perintah melaksanakan penyitaan (SPMP) yang ditindaklanjuti dengan penyitaan rumah orang tua seorang wajib pajak.
Dalam perkara ini, wajib pajak merupakan seorang pedagang yang memperoleh surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) untuk pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) yang diterbitkan oleh otoritas pajak. SKPKB tersebut menunjukkan jumlah PPh yang masih harus dibayar oleh wajib pajak adalah senilai Rp941.039.870.
Atas SKPKB tersebut, otoritas pajak telah melakukan berbagai tindakan penagihan hingga akhirnya menerbitkan SPMP yang ditindaklanjuti dengan penyitaan rumah orang tua wajib pajak tersebut. Otoritas pajak menilai tindakan tersebut patut dilakukan karena wajib pajak tidak kunjung melunasi utang pajaknya.
Sebaliknya, wajib pajak tidak setuju dengan penerbitan SPMP yang ditindaklanjuti dengan penyitaan rumah orang tuanya tersebut. Sebab, tindakan penagihan tersebut dilaksanakan untuk menagih SKPKB PPh OP yang dasar koreksinya tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Selain itu, objek yang disita oleh otoritas pajak bukanlah aset milik wajib pajak.
Dalam sengketa ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan gugatan yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa aset yang dijadikan objek sita tidak dimiliki oleh wajib pajak sebagai penanggung pajak. Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan permohonan gugatan yang diajukan wajib pajak sudah tepat dan benar.
Terhadap permohonan gugatan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan permohonan gugatan yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT.43469/PP/M.XVIII/99/2013 tanggal 26 Februari 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 4 Juni 2013.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah dikabulkannya gugatan pajak dan dibatalkannya Surat Direktur Jenderal Pajak No. SIT-00007/WPJ.06/KP.0404/2012 tanggal 21 Juni 2012.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK tidak setuju dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak terkait pembatalan SPMP yang diterbitkannya.
Sebagai informasi, Pemohon PK menerbitkan SPMP karena Termohon PK tidak melunasi utang pajak sebesar Rp941.039.870 yang tercantum dalam SKPKB PPh OP. Adapun Pemohon PK telah melaksanakan berbagai tindakan penagihan, seperti penerbitan surat teguran dan surat paksa, sebelum pada akhirnya menerbitkan SPMP tersebut.
Sengketa ini muncul setelah Pemohon PK menindaklanjuti penerbitan SPMP dengan melakukan penyitaan aset berupa sebidang tanah dan bangunan. Namun, kemudian diketahui bahwa aset tersebut merupakan rumah milik orang tua Termohon PK yang berada di daerah Jakarta.
Menurut Pemohon PK, penyitaan rumah tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebab, Termohon PK tetap tidak melunasi utang pajaknya meskipun Pemohon PK telah memberitahukan surat paksa kepadanya. Dengan demikian, penyitaan dapat dilakukan sesuai Pasal 12 jo Pasal 14 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP).
Adapun Pemohon PK menyebutkan bahwa rumah yang disita berdasarkan SPMP tersebut telah sesuai dengan alamat yang tertera di kartu tanda penduduk (KTP) milik Termohon PK. Lalu, Pemohon PK menambahkan bahwa seandainya terdapat kesalahan objek sita, tidak serta merta menyebabkan penerbitan SPMP menjadi tidak sah. Sebab, SKPKB PPh OP yang menjadi dasar penerbitan SPMP sudah benar dan berkekuatan hukum tetap.
Lebih lanjut, apabila penetapan objek sita yang dilakukan Pemohon PK tidak tepat maka dapat dicari objek lain yang memang dapat disita. Dalam hal ini, kesalahan dalam menetapkan objek sita tidak dapat membatalkan SPMP yang diterbitkan. Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menyatakan bahwa SPMP yang diterbitkannya seharusnya tidak dibatalkan.
Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan argumentasi Pemohon PK. Menurut Termohon PK, koreksi yang dilakukan oleh pemeriksa didasarkan pada keterangan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, SPMP yang diterbitkan dengan berdasarkan pada SKPKB tersebut menjadi tidak sah.
Menurut Termohon PK, apabila Pemohon PK memang berhak melakukan penyitaan, objek sita yang ditetapkannya juga tidak tepat. Hal ini dikarenakan objek sita bukan milik Termohon PK, melainkan milik orang tuanya. Status kepemilikan objek sita tersebut dapat dibuktikan dengan sertifikat hak guna bangunan yang diterbitkan pada 1998.
Berdasarkan sertifikat hak guna bangunan tersebut, kepemilikan rumah adalah atas nama Nyonya X yang merupakan ibu kandung Termohon PK. Dengan demikian, terdapat kesalahan objek sita karena rumah tersebut bukan barang milik Termohon PK sebagai penanggung pajak.
Selain itu, kesalahan penyitaan ini berdampak buruk pada kesehatan orang tua Termohon PK. Sebab, orang tua Termohon PK menjadi sering sakit karena takut akan dilakukan pengusiran oleh Pemohon PK. Berdasarkan uraian di atas, Termohon PK menyatakan bahwa SPMP seharusnya dibatalkan.
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Dalam putusan PK ini, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam permohonan PK, Mahkamah Agung menilai bahwa putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan permohonan gugatan sudah tepat dan benar.
Menurut Mahkamah Agung, objek sita berupa sebidang tanah dan bangunan dimiliki oleh orang tua Termohon PK. Oleh karena itu, koreksi Pemohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) jo Pasal 14 ayat (1) UU PPSP.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (sap)