RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Biaya Pemeliharaan Minibus yang Tidak Dapat Dikreditkan

Hamida Amri Safarina
Rabu, 02 Juni 2021 | 16.15 WIB
Sengketa Biaya Pemeliharaan Minibus yang Tidak Dapat Dikreditkan

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai biaya pemeliharaan minibus yang tidak dapat dilakukan pengkreditan pajak masukan.

Perlu dipahami, dalam perkara ini, wajib pajak menyewa beberapa kendaraan dari PT X. Adapun kendaraan yang disewa tersebut memiliki merek A, merek B, dan merek C. Kegiatan sewa kendaraan tersebut dilakukan untuk menunjang kegiatan operasional wajib pajak.

Otoritas pajak menyatakan kendaraan yang disewa wajib pajak tersebut termasuk jenis station wagon. Menurutnya, biaya pemeliharaan station wagon yang dikeluarkan wajib pajak tidak dapat dikreditkan.

Pendapat otoritas pajak tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) juncto Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor SK.653/AJ.202/DRJD/2001.

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan kendaraan yang disewanya tergolong jenis minibus, bukan sedan ataupun station wagon. Biaya pemeliharaan minibus tersebut seharusnya tetap dapat dilakukan pengkreditan pajak masukan.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN mengatur pengkreditan pajak masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.

Sesuai dengan ketentuan tersebut, hanya kendaraan berupa sedan dan station wagon yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan. Dalam perkara ini, wajib pajak telah menyewa mobil jenis minibus dengan merek A, merek B, dan merek C.

Mobil yang disewa wajib pajak tersebut tidak termasuk jenis sedan atau station wagon. Dengan kata lain, transaksi sewa-menyewa minibus tersebut dapat dikreditkan. Koreksi yang dilakukan otoritas pajak dinyatakan dibatalkan.

Dengan demikian, terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 69570/PP/M.XIB/16/2016 tanggal 30 Maret 2016, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 18 Juli 2016.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif pajak masukan yang dapat diperhitungkan senilai Rp136.763.311 tidak dapat dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
Pemohon PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon PK melakukan koreksi senilai Rp136.763.311 karena terdapat biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan kendaraan yang disewa Termohon PK yang seharusnya tidak dapat dilakukan pengkreditan.

Perlu dipahami, dalam perkara ini, Termohon PK telah menyewa beberapa kendaraan dari PT X. Adapun kendaraan yang disewa tersebut memiliki merek A, merek B, dan merek C. Sewa kendaraan tersebut dilakukan untuk menunjang kegiatan operasional Termohon PK.

Berdasarkan pada penelitian, Pemohon PK menilai kendaraan yang disewa Termohon PK tersebut dapat digolongkan sebagai station wagon sebab memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 8 huruf c Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor SK.653/AJ.202/DRJD/2001.

Berdasarkan pada ketentuan a quo, station wagon adalah kendaraan bermotor jenis mobil penumpang yang mempunyai bentuk sedemikian rupa, yakni memiliki kepala, tidak terdapat bagasi tempat barang, dan dilengkapi dengan 3,4, atau 5 pintu.

Selain itu, station wagon menggunakan sistem hatch back dan/atau pintu belakang yang diperuntukkan bagi pengangkutan orang dengan kapasitan tempat duduk maksimum delapan orang, tidak termasuk pengemudi.

Menurut Pemohon PK, penggolongan jenis kendaraan yang disewa Termohon PK tersebut tidak dapat mengabaikan definisi station wagon sesuai Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor SK.653/AJ.202/DRJD/2001.

Pemohon PK berpendapat klausul minibus mempunyai arti lebih luas, sedangkan station wagon lebih bersifat spesifik dan khusus. Dalam hal ini, kendaraan station wagon yang spesifik tersebut merupakan bagian dari jenis minibus.

Oleh karena kendaraan yang disewa Termohon PK termasuk jenis station wagon maka atas biaya pemeliharaannya tidak dapat dilakukan pengkreditan pajak masukan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN. Dengan begitu, dapat disimpulkan, amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak bertentangan dengan Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi dan alasan permohonan PK yang diajukan Pemohon. Menurut Termohon PK, kendaraan yang disewanya tidak termasuk jenis sedan ataupun station wagon. Menurutnya, kendaraan yang disewa Termohon PK termasuk golongan minibus.

Oleh karena itu, biaya pengeluaran atas pemeliharaan kendaraan minibus dapat dilakukan pengkreditan pajak masukan. Koreksi yang dilakukan Pemohon PK dinilai tidak sesuai dengan fakta dan peraturan sehingga tidak dapat dipertahankan.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi positif pajak masukan senilai Rp136.763.311 yang tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, koreksi pajak masukan yang dilakukan Pemohon PK telah diuji ulang oleh Mahkamah Agung. Menurut Mahkamah Agung, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah benar. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tersebut terbukti tidak sesuai dengan fakta dan peraturan yang berlaku.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.