Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sumatra Barat Maswar Dedi.
BERBAGAI pembatasan mobilitas masyarakat selama pandemi Covid-19 berujung pada lesunya pendapatan pemerintah pusat maupun daerah, tak terkecuali Pemerintah Provinsi Sumatra Barat.
Menariknya, meski pendapatannya menurun, Pemprov Sumbar tetap mampu mengumpulkan pajak daerah hingga melampaui target yang ditetapkan pada tahun lalu.
Pemprov Sumatera Barat memiliki sejumlah strategi optimalisasi penerimaan pajak yang dijalankan selama pandemi Covid-19. Misalnya, melalui pemberian insentif pembebasan denda keterlambatan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan pembebasan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Tak hanya meringankan beban ekonomi masyarakat, kedua insentif tersebut juga ternyata efektif mengerek pendapatan asli daerah di tengah pandemi.
Teranyar, pemerintah mengundangkan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Beleid baru ini diyakini bisa mendongkrak penerimaan pajak daerah. Alasannya, beleid tersebut memberikan kewenangan bagi provinsi untuk memungut jenis pajak baru, termasuk pajak alat berat.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sumatra Barat Maswar Dedi mengenai kinerja pajak daerah hingga rencana implementasi UU HKPD. Berikut ini petikannya:
Bagaimana kinerja penerimaan pajak daerah di Sumatra Barat ketika pandemi Covid-19?
Pajak daerah di Sumatra Barat 80%-nya didominasi oleh PKB dan BBNKB.
Ketika pandemi pada tahun 2020 dan 2021, terjadi sedikit penurunan dengan penerimaannya. Walaupun tetap melampaui target yang ditetapkan 2020-2021, tapi hanya lebih tinggi 3%-4%. Pada 2021, kami menargetkan [penerimaan pajak daerah] sebesar Rp2,4 triliun lebih, dan kemudian terealisasi sebesar Rp2,51 triliun atau 103,34%.
Tahun 2022-2023 ini, saya pikir [realisasi penerimaannya] akan lebih [tinggi]. Saya pikir nanti akan [melampaui] 7,2% untuk pajak. Memang akan terjadi lompatan juga karena sudah terjadi pelonggaran-pelonggaran dalam rangka menghadapi pandemi Covid, yang mungkin dalam masa transisi ke masa endemi.
Bagaimana target penerimaan pajak daerah di Sumatra Barat pada tahun ini serta bagaimana strategi untuk mencapainya?
Target pendapatan asli daerah [PAD] kami pada 2022 sebesar Rp2,6 triliun. Kemudian, pendapatan transfernya Rp3,2 triliun dan lain-lain pendapatan daerah yang sah Rp8,3 miliar. Target pendapatan kami tahun 2022 adalah sebesar Rp5,9 triliun.
Kami mempunyai strategi yaitu optimalisasi PAD. Karena memang 80% adalah bersumber dari PKB dan BBNKB, tentu kami akan memberikan semacam formulasi atau istilahnya promo untuk masyarakat. Seperti sekarang ini, kami memberlakukan pemutihan denda dan juga bebas BBNKB. Kami melakukannya sampai 3 bulan ke depan.
[Program pemutihan pajak] ini memang mendapatkan antusias yang cukup banyak dari masyarakat. Intinya, ketika biaya-biaya kendaraan bermotor ini kami bebaskan, itu akan muncul potensi pajak baru bagi pajak kendaraan bermotor.
Kemudian, kami akan mengoptimalkan juga dari pajak yang lain seperti pajak air permukaan. Pajak air permukaan ini merupakan potensi yang cukup besar bagi Sumatra Barat karena memang berdasarkan data di perizinan, potensinya ada banyak.
Nanti, akan kami lakukan pola seperti PDAM. Kami akan memberikan mereka semacam meteran untuk mengukur airnya sehingga nanti akan kelihatan berapa sebetulnya air permukaan yang dipakai oleh perusahaan tersebut. Ini potensinya cukup besar, karena di sini banyak juga pembangkit listrik mikrohidro, kemudian juga kelapa sawit, dan juga air kemasan yang memakai air permukaan. Ini merupakan potensi yang sangat besar untuk kami menambah pundi-pundi pendapatan daerah.
Selanjutnya, kami juga dalam rangka peningkatan pajak bahan bakar kendaraan bermotor, sudah berdiskusi dengan Pertamina. Bagaimana pengendalian terhadap BBM subsidi dan BBM nonsubsidi, kami sudah mempunyai rencana atau diskusi awal dengan Pertamina untuk mengintegrasikan sistem MyPertamina dengan sistem kami, yaitu berupa e-Samsat.
Kami mempunyai big data kendaraan bermotor di e-Samsat tersebut sehingga nanti akan diintegrasikan, yang pada akhirnya muaranya akan terjadi pengendalian pemakaian BBM yang bersubsidi dan nonsubsidi.
Artinya kendaraan tertentu akan dilarang memakai BBM bersubsidi?
Iya, betul. Ini mendapatkan respons yang positif dari pihak Pertamina karena memang selama ini belum ada integrasi sistem. Pertamina sudah mempunyai sistem MyPertamina, nah itu akan kami kawinkan atau integrasikan sistem yang ada di Samsat namanya e-Samsat.
Nanti ketika kendaraannya adalah kendaraan industri, mungkin seperti truk-truk pengantar pertambangan, truk sawit, seharusnya memakai BBM yang nonsubsidi. Semuanya akan terekam di aplikasi tersebut. Ini akan dibekali berupa tools aplikasi Android yang nanti dipakai oleh SPBU-SPBU di Sumatra Barat.
Ini merupakan langkah awal yang kami diskusikan. Mudah-mudahan akan bisa terealisasi untuk ke depannya sehingga memang fenomena terkait dengan kelangkaan BBM bisa diatasi dengan sistem tersebut
Bagaimana karakteristik wajib pajak daerah di Sumatra Barat dan bagaimana tingkat kepatuhannya?
Karena sebagian besar pajak dari PKB, kami masih harus melakukan pendekatan dengan masyarakat. Sumatra Barat ini cukup luas daerahnya. Ada yang daerah yang satu kabupaten itu memanjang, sehingga luas sekali daerahnya.
Kami di Bapenda memiliki strategi untuk meningkatkan pelayanan dengan melaksanakan Samsat keliling. Kemudian, kami akan menambah Samsat nagari atau Samsat desa. Di Sumatra Barat, desa ini sebutannya nagari, jadi kami istilahnya Samsat nagari. Ini kami lakukan agar masyarakat lebih dekat untuk mendapatkan pelayanan Samsat di beberapa daerah.
Kami juga akan melihat potensi-potensi di mana masyarakat lagi bisa berurusan langsung dengan Samsat. Mungkin dalam puasa ini kami melakukan juga yang namanya Samsat ngabuburit. Ketika orang sambil menunggu waktu buka puasa, apakah itu di pantai atau di tempat-tempat rekreasi, kami akan taruh di sana Samsat ngabuburitnya sehingga orang-orang bisa melakukan pelayanan Samsat di situ.
Saat ini telah disahkan UU 1/2022 tentang HKPD. Bagaimana pandangan Anda?
Di UU HKPD memang ada beberapa perubahan yang cukup signifikan, tapi dalam artian tentu pemerintah pusat sudah mengkaji lebih dalam sehingga tidak akan menimbulkan kerugian pada masing-masing daerah. Salah satunya adanya opsen-opsen yang terkait dengan PKB dan BBNKB.
Selain itu, hal yang baru di sini adalah pajak alat berat. Pajak alat berat sebenarnya dulu pernah dilakukan pemungutan pajaknya, tapi karena memang ada putusan MK [Mahkamah Konstitusi] untuk tidak dilakukan, sehingga memang sampai saat ini belum dilakukan. Dengan UU HKPD, kami akan menyiapkan peraturan daerah terkait dengan ini sehingga nanti ke depan pada 2024 sudah bisa kami laksanakan terkait dengan pajak alat berat.
Dengan UU HKPD yang menambah jenis pajak daerah, bagaimana pandangan Anda tentang dampaknya terhadap penerimaan pajak daerah di Sumatra Barat?
Saya pikir cukup bagus. Misalnya untuk pajak alat berat, dulu ketika saya menjadi Kepala Dinas Penanaman Modal, saya melihat potensinya cukup besar. Ini juga terkait dengan izin tambang yang waktu masih kewenangan gubernur atau sebelum dikeluarkannya UU Nomor 3 Tahun 2020. Di situ, sangat banyak sekali pertambangan dan perkebunan yang tersebar di 19 kabupaten/kota di Sumatra Barat. Ini yang menyebabkan pajak alat berat akan sangat besar di sini.
Di sisi lain, UU HKPD juga mengatur opsen pajak kendaraan bermotor dan BBNKB untuk kabupaten/kota. Bagaimana tanggapan Anda?
Mereka [ketentuan opsen pajak pada UU HKPD] mempermudah transfer saja. Selama ini kan itu dikelola semuanya oleh provinsi, tapi nanti akan otomatis masuk ke kas daerah di kabupaten/kota. Sebenarnya tidak ada masalah, cuma mekanismenya saja yang berubah.
Tapi dengan ini, artinya kabupaten/kota juga akan mempunyai tanggung jawab morel untuk ikut dalam pemungutan pajak kendaraan bermotor karena sudah dilibatkan dengan adanya opsen tersebut.
Dengan keterlibatan pemerintah/kota, Anda menilai kepatuhan masyarakat membayar pajak kendaraan bermotor akan meningkat?
Benar. Dengan adanya opsen pajak kendaraan bermotor tersebut, untuk pemerintah kabupaten/kota akan merasa lebih giat menambah pendapatannya. Mungkin dari pemerintah pusat juga sudah melakukan kajian-kajian sehingga saya pikir ini akan menjadi satu catatan.
Bagaimana proyeksi Anda tentang dampak pembebasan BBNKB terhadap penerimaan pajak kendaraan bermotor di Sumatra Barat ke depannya?
Kita konsepnya memang NKRI, tapi sekarang kami berupaya mengoptimalkan pendapatan daerah karena daerah dituntut sekarang berkreasi. Artinya, kalau memang kendaraan tersebut banyak berada dari Sumatera Barat, kenapa tidak juga membayar pajak di Sumatra Barat. Kendaraan non-BA dilakukan balik nama tujuannya agar nantinya mereka membayar pajak kendaraan bermotor di sini.
Apa harapan Anda agar Sumatera Barat dapat meningkatkan PAD dan mencapai kemandirian fiskal?
Memang sekarang secara bertahap pemerintah pusat sudah mulai mengurangi belanja atau transfer ke daerah. Kami tentu dituntut bagaimana menciptakan potensi penerimaan berdasarkan aturan yang sudah ada. Kami berpikir sekarang bagaimana mengoptimalkan pendapatan asli daerah. Nah, langkah-langkah tadi yang kami terapkan. Kami melakukan pemutihan pajak kendaraan bermotor dan pembebasan bea balik nama. Kemudian nanti ada optimalisasi pajak daerah air permukaan. (sap)