Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga Ditjen Bea dan Cukai Syarif Hidayat. (dokumen pribadi)
PANDEMI Covid-19 tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan tetapi juga meluas hingga bidang ekonomi. Kementerian Keuangan melalui Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) kemudian merespons situasi ini dengan memberikan berbagai fasilitas untuk mendukung penanganan pandemi sekaligus memulihkan perekonomian.
DJBC memberikan pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) atas barang yang dibutuhkan untuk penanganan pandemi seperti alat kesehatan dan vaksin. Fasilitas serupa dapat dimanfaatkan industri strategis yang terdampak pandemi Covid-19 agar segera pulih kembali.
Sementara pada sisi cukai, DJBC memberikan penundaan pelunasan pita cukai yang semula hanya 2 bulan menjadi 3 bulan.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga DJBC Syarif Hidayat menjelaskan secara terperinci berbagai fasilitas tersebut dan pemanfaatannya oleh pengguna jasa. Demikian pula mengenai penerapan berbagai teknologi informasi untuk memudahkan proses bisnis di tengah pembatasan mobilitas masyarakat selama pandemi. Berikut petikannya:
Bagaimana kinerja penerimaan kepabeanan dan cukai sejauh ini, dan bagaimana pandemi Covid-19 memengaruhinya?
Penerimaan negara memang merupakan salah satu peran bea cukai. Sebagai informasi, tren kontribusi bea dan cukai terhadap penerimaan negara setiap tahunnya selalu meningkat. Pun demikian pada tahun 2021 yang diproyeksikan mencapai Rp224 triliun atau tumbuh sekitar 5% bila dibandingkan realisasi penerimaan tahun 2020.
Penerimaan bea masuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya kinerja impor nasional yang mulai bangkit pascaterdampak pandemi Covid-19. Faktor berikutnya adalah menggeliatnya industri dalam negeri, yang tercermin dalam Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur yang berada di atas 50. Perekonomian nasional yang mulai membaik juga memengaruhi penerimaan, melalui peningkatan permintaan masyarakat atas barang-barang konsumsi.
Sementara itu, kontributor utama penerimaan bea keluar pada 2021 adalah komoditas produk kelapa sawit. Kinerjanya hingga semester I/2021 telah mencapai Rp11,1 triliun atau melesat 2.651,3%. Tren peningkatan harga komoditas yang terjadi sejak akhir tahun lalu mengakibatkan tingginya harga patokan ekspor sekaligus tarif bea keluar pada komoditas produk kelapa sawit. Alhasil, meskipun volume ekspor mengalami pelemahan, terkompensasi oleh peningkatan harganya.
Penerapan kebijakan penyesuaian tarif cukai hasil tembakau melalui PMK 198/2020 mempengaruhi kinerja penerimaan cukai hasil tembakau. Pada semester I/2021, penerimaannya mencapai Rp88,5 triliun atau tumbuh 21,1%. Kebijakan penyesuaian tarif cukai, selalu dilandasi atas upaya pengendalian konsumsi rokok guna meningkatkan kesehatan masyarakat dengan tetap memperhitungkan aspek penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan industri rokok, optimalisasi penerimaan, hingga peredaran rokok ilegal.
Apa saja strategi yang dilakukan DJBC untuk mencapai target penerimaan hingga akhir tahun, yang tersisa kurang dari 4 bulan?
Dalam rangka mengamankan proyeksi penerimaan tahun 2021, Bea Cukai telah menyiapkan langkah-langkah optimalisasi. Langkah tersebut antara lain penguatan sinergi, baik sinergi internal Kemenkeu maupun sinergi eksternal, sangat penting untuk dilakukan dalam mengawal kinerja penerimaan. Bea cukai juga konsisten dalam menguatkan proses pengelolaan penerimaan serta upaya pengawasan.
Bagaimana Bea Cukai membangun pendekatan dengan para pengguna jasa, terutama ketika mereka juga menghadapi tekanan akibat pandemi?
Pada masa pandemi sekarang ini, teknologi terbukti sangat membantu dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kepabeanan dan cukai. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh pegawai saja tetapi juga oleh para stakeholders Bea Cukai.
Selama masa pandemi ini, interaksi tatap muka terkait kegiatan organisasi dibatasi sehingga kami perlu mencari cara dengan memanfaatkan teknologi agar kegiatan ataupun proses bisnis internal dan eksternal tidak terhambat. Seperti contohnya beberapa aplikasi pelayanan dan pengawasan online terkait kepabeanan dan cukai telah dimanfaatkan untuk menjaga kestabilan proses pelayanan dan pengawasan.
Selain itu, kami juga memanfaatkan media komunikasi online dalam pembahasan ataupun rapat koordinasi internal DJBC dalam memonitoring tugas dan fungsi yang diemban. Pemanfaatan teknologi atau bentuk transformasi digital yang dilakukan tersebut dilalui dengan proses perencanaan, monev [monitoring dan evaluasi], dan mitigasi.
Bagaimana peran Bea Cukai untuk mendukung penanganan pandemi Covid-19 dan memulihkan perekonomian nasional?
Kementerian Keuangan melalui DJBC telah memberikan insentif fiskal untuk jenis barang berupa alat kesehatan dalam rangka penanganan Covid-19 sejak Maret 2020 sampai dengan saat ini. Selain insentif fiskal, juga diberikan insentif prosedural berupa percepatan pengeluaran barang impor dan penyederhanaan perizinan tata niaga impor yang dapat diberikan oleh BNPB [Badan Nasional Penanggulangan Bencana] dengan pengajuan permohonan secara elektronik melalui Online Single Submission di laman www.insw.go.id.
Fasilitas impor untuk alat Kesehatan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 diatur melalui PMK 92/2020 juncto PMK 92/2021. Namun selain itu, Kementerian Keuangan juga memberikan insentif kepabeanan dalam mendukung pemenuhan kebutuhan alat kesehatan. Insentif itu antara lain berupa insentif bagi obat-obatan yang dibiayai menggunakan APBN untuk masyarakat melalui PMK 102/2007, serta bea masuk ditanggung pemerintah untuk industri strategis yang terdampak pandemi Covid-19, khususnya sektor industri farmasi dan alat kesehatan melalui PMK 68/2021.
Ada pula fasilitas kepabeanan atas impor yang dilakukan pemerintah pusat atau daerah untuk kepentingan umum seperti diatur PMK 171/ 2019, impor barang hibah/hadiah untuk ibadah/amal/sosial melalui PMK 70 /2012, dan fasilitas untuk impor vaksin Covid-19 melalui PMK 188/ 2020.
Hingga saat ini, sudah berapa banyak impor vaksin dan alat kesehatan yang dilayani Bea Cukai dan berapa nilainya?
Untuk PCR test reagent, total fasilitas pembebasan bea masuk dan PDRI yang telah diberikan untuk periode 1 Januari hingga pertengahan Agustus 2021 sebesar Rp366,76 miliar. Fasilitas itu terdiri atas fasilitas fiskal berupa pembebasan bea masuk Rp107 miliar, PPN [pajak pertambahan nilai] tidak dipungut Rp193 miliar, dan PPh [pajak penghasilan] Pasal 22 dibebaskan dari pungutan sebesar Rp66 miliar.
Sampai dengan akhir Agustus, impor alat kesehatan selama 2021 yang menggunakan fasilitas pembebasan senilai Rp5,52 triliun, dengan nilai fasilitas pembebasan bea masuk Rp300 miliar, PPN tidak dipungut Rp553 miliar, dan PPh Pasal 22 dibebaskan Rp207 miliar.
Untuk impor oksigen, tabung, oxyigen concentrator, dan peralatan pendukung lainnya yang menggunakan fasilitas pembebasan sebesar Rp1,2 triliun, dengan nilai fasilitas pembebasan bea masuk sebesar Rp58 miliar, PPN tidak dipungut Rp116 miliar, dan PPh Pasal 22 dibebaskan sebesar Rp63 miliar.
Bagaimana tren pemanfaatan fasilitas kepabeanan atas impor alat kesehatan hingga saat ini?
Kami mencatat terjadi kenaikan pemanfaatan fasilitas pada bulan Juli. Kenaikannya menjadi Rp1,12 triliun atau meningkat 137% dari bulan sebelumnya. Kenaikan diakibatkan meningkatnya impor barang berupa obat-obatan dan oksigen, termasuk tabung oksigen, serta alat terapi pernafasan seperti oxygen concentrator, generator, dan ventilator. Selain itu, terdapat juga peningkatan impor vaksin pada bulan Juli.
Pada bulan Agustus, fasilitas yang dimanfaatkan sedikit mengalami kenaikan yaitu sebesar 8,1% dibandingkan dengan Juli 2021. Dengan nilai impor Rp2,94 triliun. Ini merupakan nilai tertinggi selama 2021, sejalan dengan kenaikan angka kasus Covid-19.
Pada bulan September, sampai dengan tanggal 9 September, realisasi impor alat kesehatan sebesar Rp370 miliar atau baru mencapai 12% dari impor bulan Agustus sehingga terindikasi pada bulan September mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Dari sisi kepabeanan, upaya apa saja yang dilakukan untuk mendorong kegiatan ekspor dan impor?
Dalam rangka memperlancar arus impor dan mendorong ekspor, beberapa hal telah dilakukan oleh Bea Cukai seperti dengan pembangunan program National Logistic Ecosystem (NLE), perluasan berbagai kawasan berikat, serta program klinik ekspor. Program NLE ditujukan untuk mengurangi biaya logistik dengan membangun ekosistem logistik yang terintegrasi sehingga mempermudah aktivitas ekspor maupun impor. Adapun perluasan berbagai skema kawasan berikat seperti dengan pengembangan kawasan berikat flora dan fauna dalam rangka mendukung program nasional food estate guna pengembangan industri pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Selain itu, upaya pemberdayaan industri kecil menengah atau IKM yang berorientasi ekspor didorong melalui program kemudahan impor tujuan ekspor (KITE IKM) serta pengembangan pusat logistik berikat (PLB) bahan pokok di perbatasan. Tujuannya untuk penyediaan dan menjaga daya beli masyarakat setempat, khususnya di perbatasan. Sedangkan klinik ekspor adalah upaya membantu UMKM dalam menjaga daerah pemasarannya pada saat pandemi, dengan harapan dapat melakukan perluasan hingga pasar ekspor
Saya melihat Bea Cukai juga terus melakukan inovasi di bidang teknologi seperti membuat aplikasi untuk mendukung kelancaran ekspor-impor dan pengajuan pita cukai?
Kita ketahui bersama bahwa pandemi yang telah berlangsung sejak awal tahun 2020 lalu, telah mengubah banyak hal atau diistilahkan dengan kebiasaan normal baru atau new normal. Bea cukai pun menyadari hal itu dan telah menyiapkan inovasi-inovasi pelayanan atau bisa dikatakan insentif prosedural.
Salah satunya adalah memberikan relaksasi di bidang cukai berupa penundaan pelunasan pita cukai yang semula 2 bulan menjadi 3 bulan seperti diatur dalam PMK 93/2021), kemudian izin produksi di luar pabrik rokok padat karya untuk menghindari potensi penyebaran virus. Di bidang kepabeanan, bea cukai juga berinovasi seperti penyederhanaan prosedur penyerahan dokumen SKA online hingga 30 hari.
Pada masa pandemi sekarang ini, teknologi terbukti sangat membantu dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kepabeanan dan cukai. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh pegawai saja, tetapi juga para stakeholders.
Sejauh ini, barang sitaan apa saja yang sering ditemukan oleh pegawai Bea Cukai? Kemudian, upaya yang dilakukan untuk mencegah barang ilegal keluar-masuk Indonesia?
Selama tahun 2021, penindakan yang dilakukan Bea Cukai mencapai 14.000 lebih. Penindakan di bidang impor menjadi kontributor utama kinerja pengawasan seiring dengan meningkatnya impor e-commerce. Penindakan hasil tembakau atau rokok mendominasi jumlah penindakan, yaitu sekitar 41%, sejalan gencarnya operasi gempur rokok ilegal. Bea Cukai juga senantiasa berkoordinasi dengan aparat penegak hukum terkait untuk mengoptimalkan kegiatan penindakan.
Terakhir, seperti apa kira-kira arah kebijakan kepabeanan dan cukai ke depan?
Bea Cukai sadar bahwa ke depan masih akan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Tantangan atas pengawasan barang-barang membahayakan masyarakat, misalnya, yang saat ini pemasukannya atau upaya penyelundupannya tidak hanya melewati bandara tetapi juga perbatasan antarnegara.
Tantangan lainnya adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pelaku usaha. Bea Cukai dituntut untuk terus melayani stakeholders-nya hingga merasa bahwa untuk legal itu adalah mudah. Dukungan kepada industri yang sangat dibutuhkan saat ini agar ekspor nasional terus tumbuh, dengan meningkatkan fasilitas dan berkreasi dengan instrumen dan kebijakan.
Tantangan yang tidak kalah penting adalah penerimaan negara. Bea Cukai dituntut untuk dapat berkontribusi maksimal untuk peningkatan pendapatan negara. Langkah-langkah strategis jelas harus disiapkan, mengingat kondisi perekonomian nasional maupun global yang sedang tidak dalam kondisi normal. (sap)