Ilustrasi land value tax. (DDTCNews)
WACANA yang dikembangkan pemerintah awal tahun ini untuk menerapkan pajak tanah sebagai upaya koreksi atas konsentrasi kepemilikan tanah, sekaligus sebagai alat redistribusi pendapatan dalam rangka mengatasi kesenjangan ekonomi, menarik untuk dicermati.
Konsentrasi kepemilikan tanah memang sudah diakui sebagai salah satu penyebab kesenjangan ekonomi. Karena itu, tak mengherankan jika banyak negara menjalankan reformasi agraria sebagai salah satu agenda untuk mengatasi kesenjangan ekonomi.
Kepemilikan tanah yang terkonsentrasi pada gilirannya memicu banyaknya tanah yang tidak produktif. Alih-alih menjadi faktor produksi, fungsi tanah pun telah berubah jadi instrumen spekulasi. Akibatnya, harga tanah cenderung dibentuk kekuatan pasar hingga menjadi tak terkendali.
Eskalasi dari situasi ini tidak lain adalah munculnya fenomena gelembung harga tanah. Lebih dari sekadar memperlebar kesenjangan ekonomi, fenomena tersebut juga berisiko mendistorsi ekonomi secara keseluruhan. Di sinilah penerapan pajak tanah memperoleh justifikasi dan relevansi.
Dengan melihat fungsi dan karakternya, pajak di bidang pertanahan yang berlaku saat ini, yaitu PBB, PPh final pengalihan tanah dan BPHTB, jelas tidak efektif jika ditujukan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi akibat ketimpangan pemilikan tanah tadi.
Jika ketiganya dikenakan secara progresif untuk tanah yang tidak produktif justru akan timbul masalah definisi, yang pada akhirnya akan menyulitkan praktik pemajakan. Di sisi lain, adanya perbedaan tarif pada ketiga pajak tersebut dengan sendirinya akan menciptakan ruang perencanaan pajak.
Di sisi lain, mencegah spekulasi di pasar tanah melalui pajak atas transaksi ala Tobin Tax juga tidak mudah. Berbeda dengan instrumen keuangan dan surat berharga, tanah adalah kebutuhan dasar. Pengenaannya justru berpotensi meningkatkan harga, sehingga tidak efisien bagi ekonomi.
Karena itu, mungkin baik jika pemerintah mempertimbangkan kebijakan pengenaan pajak atas nilai tanah (land value tax/LVT). Sama dengan PBB, LVT dikenakan atas tanah dengan tarif flat. Bedanya, LVT hanya melihat nilai tanah tanpa memedulikan nilai bangunan maupun pemanfaatan tanah.
Artinya, tidak ada jumlah pajak yang berbeda baik jika tanah tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi atau dibiarkan menganggur. Bagi pemilik tanah menganggur, LVT akan memberikan beban yang progresif karena pemilik tidak memiliki manfaat atau penghasilan apapun dari tanah tersebut.
Dengan begitu, LVT yang relatif mudah diadministrasikan, mendorong pemanfaatan tanah dengan menghindari spekulasi yang mendistorsi ekonomi. Ia juga mengundang investasi, tenaga kerja, dan mengoreksi distribusi pemilikan lahan hingga turut berperan mengurangi kesenjangan ekonomi.
Itulah antara lain sebabnya kenapa sudah lebih dari 30 negara yang menerapkan LVT. Untuk Indonesia, penting bagi pemerintah merumuskan kerangka hukum sekaligus cara pemungutannya. Apakah LVT ini diperlakukan sebagai pajak tambahan atas PBB, atau berdiri sendiri.
Selain itu, penentuan atas batasan luas tanah atau batasan bagi pihak yang terkena kewajiban ini juga perlu dipertimbangkan. Hal ini untuk menjamin efektivitas sekaligus untuk tidak memberikan beban tambahan bagi masyarakat yang bukan sasaran LVT, dalam hal ini masyarakat yang bukan spekulan.
Keberterimaan masyarakat terhadap kebijakan ini tidak boleh diabaikan, termasuk para stakeholder yang terkena dampak langsung, misalnya para pelaku usaha properti pemilik landbank luas yang harus menyesuaikan perencanaan bisnisnya. Sosialiasi kebijakan ini harus menyeluruh.
Perlu segera ditambahkan, LVT juga bisa dipertimbangkan sebagai salah satu jalan keluar persoalan agraria dan kesenjangan ekonomi. Tentu saja, masih banyak kebijakan lain yang perlu dirumuskan, karena memang penyebab kesenjangan itu bukan satu pokok tunggal yang berdiri sendiri. (*)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.