Ilustrasi. (Foto:Â nnkpservices.com)
SUDAH sejak lama sebetulnya, berbagai kalangan di Indonesia telah mendesakkan perlunya insentif fiskal atas kegiatan riset dan vokasi oleh perusahaan. Insentif fiskal itu berupa dijadikannya biaya riset sebagai kredit pengurang omzet perusahaan, antara 100%-200%.
Karena selama ini tidak ada insentif itu, kegiatan riset di Indonesia pun tergolong minim, di samping ada faktor-faktor lain yang memang tidak mendukung. Perusahaan pun akhirnya memakai hasil riset dari luar negeri, dan membayar royalti atas penggunaan hasil riset tersebut.
Masalahnya baru kemudian disadari, bahwa besaran royalti yang dibayarkan perusahaan ini terus meningkat tiap tahun, dari Rp44 triliun (2016), Rp46 triliun (2017), dan Rp103 triliun (2018). Apabila hal ini terus berlangsung, tentu ia akan bekerja menggerus penerimaan.
Di sisi lain, periset di Indonesia yang mendapatkan royalti juga dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atau 26 dengan tarif bervariasi, 2%-15%. Kebijakan tersebut dengan sendirinya membuat masyarakat semakin enggan menjadi peneliti di Indonesia.
Karena itu, meski terlambat, rencana pemerintah membuat insentif untuk riset harus diapresiasi. Insentif ini akan membendung keluarnya arus dana karena kewajiban pembayaran royalti ke luar negeri. Beberapa negara seperti Singapura, Jepang, Prancis, Jerman, juga sudah melakukannya.
Menurut rencana, kebijakan ini akan diluncurkan setelah Pemilu 2019. Besarannya terbagi menjadi dua, yaitu pengurangan omzet 100% dalam hal hasil riset digunakan untuk berproduksi baik produk baru maupun efisiensi operasi, dan 200% ketika hasil riset itu sudah dipatenkan.
Sementara itu, untuk pendidikan vokasi, besarannya 100%. Pendidikan vokasi ini dilakukan melalui kegiatan pembinaan dan pengembangan SMK, politeknik, atau balai latihan kerja, melalui penyediaan fasilitas praktik kerja untuk siswa dan pemagangan untuk tenaga pengajar.
Beberapa negara seperti Singapura, Jepang, Prancis, Jerman, juga Uni Eropa, sudah menerapkan kebijakan tersebut. Singapura misalnya, memberlakukan insentif pengurangan omzet 100% untuk kegiatan riset dan bisa ditambah 150% hingga 400%.
Insentif fiskal ini juga bisa menjadi opsi untuk mendukung kebijakan pengembangan sumber daya manusia (SDM) lokal. Perusahaan akan terdorong meningkatkan kualitas tenaga kerja di Indonesia, dengan meningkatkan bujetnya untuk pendidikan vokasi.
Pemberian insentif ini akan berjalan mulus bila pemerintah memperhatikan tiga faktor. Pertama, kajian manfaat dan biaya. Sudah menjadi rumus dasar setiap pemberian insentif pajak akan menggerus penerimaan dalam jangka pendek. Karena itu, perhitungannya harus cermat.
Kedua, aspek transparansi dalam pemberian insentif. Ini menjadi bagian pertanggungjawaban kepada publik terkait pihak yang mendapat manfaat dari fasilitas fiskal. Ketiga, dukungan administrasi pajak yang mumpuni. Aspek ini penting untuk memastikan insentif banyak dimanfaatkan pelaku usaha.
Ketiga faktor tadi akan bekerja memastikan skema insentif untuk riset dan vokasi ini memang layak diberikan, akuntabel untuk dipertanggungjawabkan, dan laku atau mudah dimanfaatkan perusahaan. Itu yang perlu diingat. (Bsi)