ANALISIS

Menguber Pajak Taksi Uber

Redaksi DDTCNews
Selasa, 07 Juni 2016 | 15.34 WIB
ddtc-loaderMenguber Pajak Taksi Uber

Suhut Tumpal Sinaga,

Widyaiswara Pusdiklat Pajak

DI BALIK kontroversi akan legalitas taksi uber, sepak terjang taksi berbasis aplikasi ini memang menakjubkan. Sejak berdiri pada 2009 di San Fransisco, Uber kini sudah menjangkau lebih 200 kota di 45 negara.

Pada Juni 2014, majalah Forbes menulis bahwa  Uber mendapat suntikan investasi senilai USD 1,2 milyar, membuat nilai perusahaan ini diperkirakan menjadi USD 18,2 milyar. Sekarang Uber menduduki posisi kedua, setelah Facebook, sebagai perusahaan dengan nilai tertinggi yang disokong investor.

(Wakil) Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama pernah menyatakan Uber akan dilarang di Jakarta karena tidak bayar pajak. Apakah benar Uber melakukan penghindaran pajak? Atau memang kegiatan bisnis Uber di Indonesia tidak menimbulkan kewajiban pajak?

Tulisan ini akan mengulas definisi Badan Usaha Tertentu (BUT) dengan menggunakan kasus Uber sebagai nexus bagi justifikasi pemajakan oleh negara sumber, khususnya pada transaksi e-commerce.

Proses Bisnis Uber

Karakter bisnis Uber yang berbasis aplikasi memungkinkan Uber beroperasi di Indonesia tanpa perlu membuka kantor cabang. Ada tiga pihak yang terlibat dalam sistem Uber.

Mereka adalah pemilik kendaraan, calon penumpang, dan Uber sebagai penghubung keduanya. Setiap pemilik kendaraan mendaftarkan diri sebagai pengemudi Uber.

Penumpang yang telah diantar  ke tempat tujuan akan dimintai pembayaran yang kemudian dibebankan ke kartu kredit milik penumpang yang sebelumnya telah didaftarkan. Tarif dimungkinkan untuk berubah, naik atau turun, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. 

Saat penumpang melakukan pembayaran, seluruh penghasilan akan masuk dahulu ke rekening Uber setelah dipotong fee untuk penerbit kartu kredit.

Bagi hasil atas pembayaran penumpang ilakukan antara pengemudi dan Uber. Biasanya 20% untuk Uber dan 80% untuk pengemudi. Apabila Uber bekerjasama dengan rekanan secara eksklusif, berarti rekanan tersebut akan menerima bagian pembayaran dari Uber secara periodik.

Haruskah Ada BUT?

Karakter bisnis Uber memungkinkannya untuk dijalankan secara remote. Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang PPh menyebutkan keberadaan BUT berupa wujud fisik seperti kantor, pabrik, atau computer server dalam hal usaha yang dijalankan melalui internet.  Ketentuan demikian ini memberi peluang besar bagi Uber, dan usaha sejenisnya, untuk leluasa menentukan apakah akan mendirikan BUT di Indonesia atau tidak.

Salah satu teori yang mendasari pemikiran hak pemajakan bagi negara sumber adalah teori Benefit, yang menyatakan hak pemajakan negara sumber didasarkan pada adanya keuntungan (benefit) dari Wajib Pajak dalam interaksinya dengan negara sumber.  McLure (2000) menyatakan negara sumber penghasilan harus mendapat kompensasi atas layanan yang sudah disediakan.

Menurut pakem tradisional, BUT dibutuhkan sebagai nexus untuk pemajakan oleh negara sumber. Dalam bisnis e-commerce seperti Uber, mungkin terjadi bahwa penghasilan berasal semata dari negara domisili, meski pelanggan yang membayar penghasilan itu seluruhnya dari negara sumber.

Doernberg (2001) mengatakan server sebagai syarat keberadaan BUT dapat ditaruh di mana saja di dunia, dan biasanya lokasi server tersebut tidak dipublikasikan dan tidak terlalu penting dalam transaksi bisnis. Kalau mengikuti pakem tradisional ini, negara sumber bisa tidak mendapat hak pemajakan.

Namun argumentasi ini sudah ditentang oleh beberapa pihak. Akumulasi keuntungan yang substansial dari negara sumber menunjukkan, bisnis itu mendapat benefit dari infrastruktur negara sumber, meskipun tidak ada BUT.

Utamanya dalam bisnis e-commerce, aktivitas bisnis, durasi kegiatan, dan keuntungan yang dihasilkan menjadi argumentasi kuat untuk memberi hak pemajakan bagi negara sumber.

Aspek Pajak Uber di Indonesia

Dengan melihat paparan di atas, sangat mungkin bahwa Uber, berdasarkan ketentuan hukum perpajakan di Indonesia, memang tidak wajib membayar pajak atas pendapatan usahanya karena tidak mempunyai BUT.

Indonesia hanya punya hak pemajakan atas pendapatan pasif seperti deviden, bunga, dan royalti. Mengingat penumpang membayar tagihan layanan langsung ke rekening Uber menggunakan kartu kredit, yang lalu kemudian akan dibagi kepada pengemudi, sulit rasanya untuk mengategorikan penghasilan itu sebagai deviden, bunga, atau royalti.

Uber juga tidak bisa dipajaki berdasarkan keberadaan BUT keagenan, apabila tidak ada orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas. Artinya,  jika Uber menandatangani kontrak, misalkan dengan perusahaan mobil rental atau marketing yang tidak berada di Indonesia, maka tidak ada BUT keagenan yang muncul.

Penandatanganan kontrak ini haruslah bersifat kebiasaan atau bukan insidental semata. Meski  demikian, berdasarkan kelaziman usaha, Uber tidak bisa menghindar dari kegiatan marketing, riset pasar, public relations, dan sejenisnya di Indonesia.

Apabila Uber melakukan kegiatan tersebut di Indonesia secara teratur dan rutin,, apalagi misalnya ada bukti bahwa penandatanganan kontrak dilakukan di Indonesia, maka Uber dapat dikatakan mempunyai BUT di Indonesia.

Informasi di website Uber sendiri bahkan menunjukkan, Uber sedang mencari karyawan untuk posisi manajemen di Indonesia hingga ke tingkat General Manager. Ini memberi indikasi bahwa walau bagaimanapun, tetap sulit bagi Uber untuk menjalankan usahanya di Indonesia tanpa mendirikan BUT.

Dengan memahami persoalan tersebut, terlihat bahwa kemunculan e-commerce semakin menegaskan pentingnya mengkaji ulang definisi BUT sebagai syarat hak pemajakan bagi negara sumber. Sejauh ini Uber di Indonesia dapat menjalankan kegiatan usahanya tanpa kehadiran BUT.

Ini memberi keleluasaan bagi Uber untuk melakukan perencanaan pajak atau bahkan penghindaran pajak. Penelitian dan verifikasi oleh petugas pajak dapat mengidentifikasi kemungkinan adanya BUT Uber di Indonesia. 

Namun harus juga diingat, meski Uber mempunyai BUT di Indonesia, arus uang Uber tetap sulit dikontrol karena menggunakan pembayaran langsung ke rekening Uber, yang entah berada di bank di negara mana.

Idealnya Ditjen Pajak dapat melakukan akses terhadap rekening bank milik Wajib Pajak. Sayangnya Undang-Undang KUP masih membatasi hak akses ini dalam hal terdapat pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan terhadap Wajib Pajak saja. Mestinya, kewenangan ini dibuka lebih luas hingga memungkinkan Ditjen Pajak memantau aliran uang milik Wajib Pajak seperti Uber.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.