Gandri Narandu,
SEBAGAI pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan, Jakarta memiliki tingkat kemacetan yang tinggi. Pada 2019, dari data lembaga pemantau kemacetan dari Inggris TomTom Index, Jakarta berada pada peringkat 10 dari 416 negara dengan tingkat kemacetan 53%.
Pada 2018, Jakarta menduduki peringkat ke 7 sedangkan pada 2017 menduduki posisi ke-4. Meskipun peringkatnya menurun, tingkat kemacetan Jakarta tetap tidak mengalami perubahan sejak 2018, yakni 53%.
Kemacetan tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi terjadi juga di kota besar lain di Indonesia seperti Bandung dan Surabaya. Hasil studi Asian Development Bank (ADB) menempatkan Bandung sebagai kota termacet di Indonesia, melampaui Jakarta.
Dalam laporan bertajuk Asian Development Outlook 2019-Update yang diterbitkan September 2019, ADB menempatkan Bandung pada urutan ke-14 dalam tabel kota berpenduduk di atas 5 juta jiwa dengan tingkat kemacetan tertinggi. Jakarta menempati urutan ke-17, sementara Surabaya ke-20.
Berbagai solusi telah coba diterapkan. Mulai dari meng-upgrade infrastruktur transportasi publik, menerapkan sistem pelat ganjil-genap, hingga rencana memindah Ibu Kota ke Kalimantan. Salah satu kebijakan yang belum tetapi dapat diterapkan adalah cukai kendaraan bermotor.
Konsep Universal
CUKAI memiliki beberapa konsep secara universal. Pertama, cukai merupakan sin taxes (pajak dosa), yaitu pajak yang dikenakan ke produk atau jasa yang bersifat nonesensial dan perlu dibatasi atau dikendalikan karena faktor kesehatan sosial atau yang dapat dipertanyakan secara moral.
Kedua, sebagai pigouvian tax seperti yang diungkapkan Arthur Cecil Pigou (1877-1959), yakni sebagai kompensasi atas dampak eksternalitas negatif, dan penerimaan cukai dapat dialihkan sebagai earmarking terhadap sektor ekonomi yasng terdampak.
Dan terakhir, consumption tax of specific goods and service, sebagai kompensasi atas kenyamanan atau kenikmatan yang diterima. Konsep ini berlaku untuk barang-barang tertentu dan memiliki 2 fungsi utama, yaitu revenue dan regulerend.
Menurut UU No 39 Tahun 2007, cukai merupakan pungutan terhadap barang tertentu yang punya sifat tertentu, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, berdampak negatif pada masyarakat atau lingkungan hidup, dan perlu pembebanan demi keadilan dan keseimbangan.
Di Indonesia, cukai merupakan pajak tidak langsung dan memiliki beberapa objek. Pajak tidak langsung merupakan perpajakan pada individu atau entitas yang pada akhirnya dibayarkan orang lain. Badan yang mengumpulkan pajak lalu mengirimkannya atau melaporkannya ke pemerintah.
Adapun subjek cukai yaitu produsen atau pengusaha sebagai penanggung pajak atau dikenal dengan istilah reksan cukai, dan konsumen sebagai pemikul pajak. Objek cukai adalah etil alkhohol atau etanol, minuman mengandung etil alkohol (MMEA) atau minuman keras, dan hasil tembakau.
Objek cukai itu dikenal dengan istilah Barang Kena Cukai (BKC). Penambahan atau pengurangan kategori BKC dimungkinkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Sesuai dengan UU, pemerintah berwenang untuk menambah atau mengurangi jenis barang yang masuk kriteria BKC.
Cukai Kendaraan Bermotor
DASAR pengenaan cukai ada pada produksi BKC, dan harus dilunasi saat pengeluaran dari pabrik atau tempat penyimpanan. Cukai dikenakan pada hulu yang dibayarkan di hilir, oleh konsumen akhir. Ini yang membedakan cukai dengan pajak, meski terdapat kesamaan tujuan di antara keduanya.
Pengenaan cukai pada kendaraan bermotor tetap tidak menghilangkan kewajiban berbagai jenis pajak kendaraan, tetapi akan ada sedikit penyesuaian dalam sistem penghitungan pajaknya. Dasar pengenaan cukai berdasar jumlah produksi kendaraan.
Cukai kendaraan tetap dibayar dimuka, sehingga konsumen atau pembeli kendaraan bermotor langsung membayar cukai kendaraan include di dalam harga jual. Sedangkan pembayaran pajak akan tetap menggunakan mekanisme yang berlaku, sehingga tidak ada istilah dikenakan pajak berganda.
Pihak yang memungut cukai kendaraan tetap pemerintah pusat, tetapi hasilnya didistribusikan kepada pemerintah daerah sesuai dengan jumlah kendaraan yang melintas di wilayahnya. Penetuan jumlah kendaraan yang melintas dapat dideteksi dengan alat pendeteksi kepadatan kendaraan.
Pemungutan cukai kendaraan bermotor merupakan bentuk pengembalian sebagian dana ke pemerintah daerah (earmarking). Dana tersebut dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur transportasi publik, atau perbaikan kualitas udara yang tercemar akibat polusi dari kendaraan bermotor.
Di sisi lain, konsep pengenaan cukai pada kendaraan bermotor tetap memerlukan pengkajian yang lebih komprehensif. Dampak sosial ekonomi apa saja yang dapat ditimbulkan dari penerapan aturan tersebut harus menjadi pertimbangan pemerintah, sehingga tidak menjadi permasalahan baru.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.