Pertanyaan
Perusahaan kami bergerak pada industri manufaktur produk otomotif. Untuk memproduksi barang, kami memiliki Perjanjian License and Technical Assistance Services dengan perusahaan induk kami yang berkedudukan di Jepang. Hal yang hendak kami tanyakan adalah bagaimana perlakuan PPh atas pembayarantechnical assistance fee (jasa teknis) yang dibayarkan kepada perusahaan induk kami di Jepang? Apakah atas imbalan jasa teknis tersebut dipotong PPh Pasal 26? Terima kasih.
Rina, Cikarang.
Jawaban
Terima kasih atas pertanyaannya Ibu Rina.
Berdasarkan ketentuan dalam paragraf 11.6 OECD Model Tax Convention Commentary on Article 12 menyatakan sebagai berikut
“In business practice, contracts are encountered which cover both know-how and the provision of technical assistance. One example, amongst others, of contracts of this kind is that of franchising, where the franchisor imparts his knowledge and experience to the franchisee and, in addition, provides him with varied technical assistance, which, in certain cases, is backed up with financial assistance and the supply of goods. The appropriate course to take with a mixed contract is, in principle, to break down, on the basis of the information contained in the contract or by means of a reasonable apportionment, the whole amount of the stipulated consideration according to the various parts of what is being provided under the contract, and then to apply to each part of it so determined the taxation treatment proper thereto. If, however, one part of what is being provided constitutes by far the principal purpose of the contract and the other parts stipulated therein are only of an ancillary and largely unimportant character, then the treatment applicable to the principal part should generally be applied to the whole amount of the consideration.”
(dengan tambahan penekanan)
Ketentuan dalam paragraf 11.6 OECD Model Tax Convention Commentary on Article 12 pada hakikatnya mengatur bahwa apabila suatu perjanjian atau kontrak terdiri dari pemberian know how dan juga jasa teknis, serta selama dalam kontrak dijelaskan bahwa keduanya dapat dipisahkan berdasarkan suatu pembagian yang wajar maka perlakuan pajaknya terpisah baik untuk pemberian know how maupun pemberian jasa teknis. Namun, apabila atas pemberian know-how atau jasa tersebut tidak dapat dipisahkan maka perlakuan pajaknya dianggap sebagai suatu kesatuan sebagai principal purpose dari suatu kontrak tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, untuk menentukan apakah atas pembayaran jasa kepada Subjek Pajak Jepang termasuk sebagai Objek PPh Pasal 26 atau tidak, sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu apakah dalam perjanjian telah dapat dipisahkan antara pemberian know how dengan pemberian jasa teknis? Hal tersebut akan menentukan apakah perlakuan pajaknya tunduk pada Pasal 12 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia dan Jepang yang mengatur tentang royalti, atau tunduk pada Pasal 7 P3B Indonesia dan Jepang yang mengatur tentang laba usaha.
Kondisi 1: Pemberian Know How dan Pemberian Jasa Teknis Merupakan Satu Kesatuan yang Tidak Terpisahkan
Merujuk pada paragraf 11.6 OECD Model Tax Convention Commentary on Article 12, perlakuan perpajakan atas pemberianknow how dengan pemberian jasa teknis yang tidak terpisahkan dianggap sebagai satu kesatuan sebagai pembayaran royalti dan tunduk pada ketentuan Pasal 12 P3B Indonesia dan Jepang. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) P3B Indonesia dan Jepang menjelaskan bahwa negara sumber dapat mengenakan pajak atas royalti sesuai dengan ketentuan pajak domestik negara sumber dengan tarif tidak melebihi 10%, sepanjang penerima penghasilan merupakan beneficial owner. Dengan demikian, atas pembayaran jasa teknis dalam kasus ini dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 10%.
Kondisi 2: Pemberian Know How dan Pemberian Jasa Teknis Dapat Dipisahkan
Apabila dalam perjanjian dapat dipisahkan antara pemberian know how dengan pemberian jasa teknis maka perlakuan perpajakan atas pembayaran jasa teknis tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 7 P3B Indonesia dan Jepang. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) P3B Indonesia dan Jepang menyebutkan bahwa atas penghasilan berupa laba usaha yang diterima atau diperoleh oleh subjek pajak luar negeri (SPLN) dikenakan pajak di negara tempat perusahaan tersebut berdomisili, sepanjang SPLN tersebut tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberian know how dengan pemberian jasa dapat dipisahkan dan sepanjang SPLN tidak memiliki BUT di Indonesia maka Indonesia sebagai negara sumber tidak memiliki hak pemajakan atas penghasilan jasa yang dibayarkan kepada penerima penghasilan di Jepang. Oleh karenanya, atas biaya jasa teknis tersebut bukan merupakan Objek PPh Pasal 26.
Persyaratan Administratif Penerapan P3B
Untuk dapat menerapkan ketentuan sebagaimana diatur dalam P3B Indonesia dan Jepang, wajib pajak luar negeri (WPLN) harus menyampaikan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan P3B. Kriteria SKD WPLN yang memenuhi persyaratan administratif penerapan P3B adalah sebagai berikut:
Berdasarkan kriteria di atas, baik untuk imbalan jasa teknis yang tidak dikenakan pajak di Indonesia (non-objek PPh Pasal 26) maupun untuk royalti yang dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif sebesar 10%, perusahaan wajib melampirkan SKD WPLN yang memenuhi persyaratan administatif pada saat penyampaian SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26. Sebaliknya, jika SKD tidak dilampirkan dalam SPT Masa maka atas imbalan jasa teknis yang dibayarkan kepada perusahaan induk yang berada di Jepang dikenakan PPh Pasal 26 berupa imbalan sehubungan dengan jasa dan dikenakan pajak dengan tarif sebesar 20%.
Demikian jawaban dari kami, semoga membantu Ibu Rina. Terima kasih. (Disclaimer)