Pertanyaan:
PERUSAHAAN kami adalah perusahaan tambang batubara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (selanjutnya disebut dengan PKP2B) Generasi III. Perusahaan kami menggunakan jasa dari pihak ketiga (bukan pemegang PKP2B) untuk melakukan aktivitas pengangkutan batubara dari lokasi pengolahan ke tempat penimbunan batubara.
Sebagai pengguna jasa, perusahaan kami telah melakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 2% (dua persen) mengikuti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut dengan UU PPh). Pada tahun pajak 2012, pemeriksa pajak melakukan koreksi atas PPh Pasal 23 terutang. Menurut pemeriksa, terdapat nilai pajak yang kurang dipotong oleh perusahaan karena seharusnya perusahaan melakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan menggunakan tarif PKP2B sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen).
Sampai saat ini, perusahaan kami masih melakukan pemotongan PPh Pasal 23 menggunakan tarif yang berlaku umum, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dengan tarif sebesar 2% (dua persen). Oleh sebab itu, untuk menghindari sengketa yang sama, saya ingin menanyakan tarif manakah yang seharusnya kami gunakan?
Budi Burahman, Jakarta.
Jawaban:
Terima kasih Bapak Budi atas pertanyaannya. Kami memang banyak menemukan kasus seperti yang perusahaan Bapak alami, terutama setelah munculnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Penyebabnya adalah penurunan tarif PPh Pasal 23 dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menjadi tarif tunggal sebesar 2% (dua persen). Sebelumnya, dalam Undang-Undang PPh Nomor 10 1994 (jo KEP-176/PJ./2000) dan Undang-Undang PPh Nomor 17 Tahun 2000 (jo KEP-96/PJ./2001 jo KEP-305/PJ./2001 jo KEP-170/PJ/2002), tarif yang berlaku atas transaksi yang dilakukan antara pihak ketiga dengan pemegang PKP2B adalah sama, yaitu sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dan 6% (enam persen).
Terkait pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23, pemegang PKP2B Generasi III berpedoman pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut dengan UU PPh Tahun 1994). Oleh karena itu, berdasarkan UU PPh Tahun 1994 dan peraturan terbaru yang dikeluarkan oleh Pemerintah pada tahun 2013 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.011/2013, pemotongan PPh Pasal 23 antara pemegang PKP2B (pemberi penghasilan) dengan pihak ketiga bukan pemegang PKP2B (penerima penghasilan) ditetapkan dengan tarif yang berlaku umum (prevailing). Lebih jelasnya dapat kami uraikan di bawah ini.
Pasal 1 UU PPh Tahun 1994 menyatakan bahwa.
“Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Lebih lanjut dalam bagian penjelasannya, disebutkan bahwa.
“Undang-Undang ini mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak...”
Berdasarkan ketentuan di atas, penggunaan ketentuan untuk mengenakan Pajak Penghasilan harus disesuaikan dengan subjek pajak selaku pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan sehingga terikat kewajiban bagi perusahaan untuk menggunakan ketentuan yang hanya berlaku bagi subjek pajak penerima penghasilan.
Lebih lanjut, dalam Pasal 33A ayat (4) UU PPh Tahun 1994, secara jelas mewajibkan penerapan peraturan pajak secara nailed down (tarif tetap) sesuai kontrak khusus dan bukan atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak ketiga. Kemudian, dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.011/2013 (selanjutnya disebut dengan PMK-39) tentang kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang terutang kepada pihak lain oleh perusahaan yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, menyatakan bahwa.
“Wajib Pajak yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang terutang kepada pihak lain.”
Lebih lanjut, dalam Pasal 2 PMK-39 menyebutkan bahwa.
“Pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan harus dilakukan.”
Berdasarkan kedua pasal PMK-39 di atas, ketika diinterpretasikan bersama-sama, secara implisit dapat diartikan sebagai berikut
Sehubungan dengan penghitungan pajak terutang dari pihak-pihak yang bertransaksi dengan pihak pemegang PKP2B, tidak tepat jika menggunakan ketentuan di dalam PKP2B. Namun sebaliknya, beban pajak pihak-pihak tersebut harus dihitung menggunakan ketentuan-ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku umum (prevailing), sesuai dengan Pasal 1 dan Pasal 2 PMK-39.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh wajib pajak yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan terhadap pihak lain yang menerima penghasilan, perlakuan pemotongannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat kewajiban pemotongan dan atau pemungutan PPh harus dilakukan. Dengan kata lain peraturannya mengikuti peraturan yang berlaku umum dari waktu ke waktu (prevailing). Dengan demikian, perlakuan pemotongan PPh Pasal 23 yang Bapak lakukan dengan menggunakan tarif yang berlaku umum sudah tepat.
Semoga jawaban di atas dapat membantu permasalahan Bapak Budi, terima kasih. (Disclaimer)