“MAJELIS Hakim Pengadilan Pajak berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) … .”
Dalam konstruksi penulisan petitum, pencantuman permohonan ex aequo et bono digunakan sebagai tuntutan pengganti (petitum subsidair) yang berfungsi untuk langkah antisipasi. Jika tuntutan utama (petitum primair) ditolak hakim, setidaknya penggugat/pemohon banding memohon kebijaksaan hakim untuk mempertimbangkan hal yang dianggap adil dan patut.
Tidak heran jika kalimat tersebut sering kali menjadi paragraf penutup dalam surat litigasi pengadilan pajak. Namun, apakah majelis hakim pengadilan pajak memiliki kewenangan untuk menerapkan asas ex aequo et bono dalam memutus putusan pengadilan pajak?
Menurut Black's Law Dictionary, ex aequo et bono diartikan sebagai ‘dalam keadilan dan kewajaran; sesuai dengan apa yang adil dan baik; sesuai dengan keadilan dan hati nurani’.
Prinsip tersebut memberikan keleluasaan hakim dengan diskresinya untuk membuat putusan berdasarkan pada hal yang dianggap patut walaupun tidak selaras dengan hukum formal yang berlaku (Trakman, 2008). Prinsip ini juga memperbolehkan suatu putusan berbeda dari petitum yang diajukan oleh pihak pemohon banding.
Kendati demikian, majelis hakim bukan berarti memiliki kewenangan yang tidak terbatas. Pasal 178 Ayat (3) Het Herzien Indonesich Reglement (HIR) dan Pasal 189 ayat (3) Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBG) memberikan pedoman dalam penerapan prinsip ex aequo et bono.
Berdasarkan pada pasal tersebut, hakim tidak dapat menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak diajukan upaya hukum, atau memberikan lebih daripada yang diajukan pada petitum primair.
Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Agung RI No. 556 K/Sip/1971 tanggal 8 Januari 1972 membatasi prinsip ex aequo et bono. Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan penggugat, kecuali masih dalam berkaitan langsung dengan fakta-fakta yang diajukan dalam perkara atau lingkup peristiwa yang diajukan dalam gugatan.
UNDANG-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai prinsip ex aequo et bono yang berlaku di ranah pengadilan pajak. Hal tersebut berbeda dengan hukum acara lain.
Misal, hukum acara arbitrase secara gamblang menerapkan prinsip ex aequo et bono pada Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sesuai dengan undang-undang tersebut, arbiter dapat mengambil putusan berdasarkan pada ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Hanya Pasal 2 UU Pengadilan Pajak yang sesuai dengan nilai pada prinsip ex aequo et bono. Pasal ini menyatakan tujuan pengadilan pajak adalah tempat wajib pajak mencari keadilan terhadap sengketa pajak (Darussalam, Septriadi, dan Yuki, 2023).
Adapun salah satu celah lain berlakunya prinsip ex aequo et bono ada dalam Pasal 78 UU Pengadilan Pajak, yang menyebut putusan pengadilan pajak berdasarkan pada peraturan perundang keyakinan hakim.
Berbeda dengan penerapan hukum secara umum, penerapan prinsip ex aequo et bono dibatasi pada di pengadilan pajak. Pertama, kontruksi Pasal 78 UU Pengadilan Pajak mewajibkan suatu putusan pengadilan pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dengan demikian, dapat diartikan bahwa prinsip ex aequo et bono harus tetap dilandaskan pada ketentuan formal. Sementara itu, pada kaidah hukum lain, ketentuan formal dapat diabaikan atas dasar prinsip ex aequo et bono.
Kedua, Pasal 80 ayat (1) UU Pengadilan Pajak menyatakan putusan pengadilan pajak dapat berupa: (1) menolak petitum pemohon banding; (2) mengabulkan sebagian atau seluruhnya petitum pemohon banding; (3) menambah pajak yang harus dibayar oleh pemohon banding; (4) permohonan banding tidak dapat diterima; (5) membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau (6) membatalkan permohonan banding.
Dengan demikian, dalam penerapan prinsip ex aequo et bono, putusan pengadilan pajak hanya dapat menambahkan pajak yang terutang pemohon banding, tetapi tidak terdapat opsi putusan yang melebihi petitum pemohon banding.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)