ANALISIS PAJAK

Meninjau Mekanisme Wajib Pungut PPN

DDTC Fiscal Research and Advisory
Rabu, 26 Juli 2017 | 14.02 WIB
ddtc-loaderMeninjau Mekanisme Wajib Pungut PPN

DALAM sistem pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)/ value added tax (VAT), dikenal istilah VAT reverse charge atau disebut juga sistem wajib pungut PPN. Mekanisme tersebut merupakan suatu bentuk modifikasi atas mekanisme PPN secara umum.

Mekanisme ini telah diterapkan di Indonesia dan beberapa negara di dunia dengan maksud untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan optimalisasi penerimaan. Terutama dalam konteks lemahnya administrasi perpajakan di suatu negara maupun pada sektor-sektor dengan tingkat ketidakpatuhannya relatif tinggi.

Walau demikian, mekanisme wajib pungut PPN pada kenyataannya masih menjadi kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra. Dalam tulisan ini akan dipaparkan gambaran mengenai konsep wajib pungut PPN dan tinjauan terhadap penerapannya di Indonesia.

Sekilas Mengenai Kebijakan Wajib Pungut PPN

TERDAPAT beberapa area yang kerap mengundang perdebatan mengenai mekanisme wajib pungut PPN. Pertama, terkait dengan justifikasi kebijakan. Penerapan wajib pungut kerap dikaitkan dengan optimalisasi penerimaan negara karena mekanisme ini dianggap mampu menjamin PPN dalam waktu yang singkat (Yesegat, 2016).

Kebijakan ini juga dianggap mampu meningkatkan kepatuhan wajib pajak, terutama untuk menghindari kecurangan dalam hal transaksi lintas-yurisdiksi, seperti carousel fraud (European Commission, 2015). Lebih lanjut lagi, mekanisme wajib pungut dianggap bisa menciptakan efisiensi biaya administrasi (administrative cost), karena pemungutannya diserahkan kepada pihak ketiga (Yudkin, 1971).

Namun demikian, relevansi mekanisme tersebut agaknya perlu untuk dikaji. Perkembangan teknologi dalam administrasi PPN, semisal e-faktur, telah memungkinkan penelusuran transaksi secara lebih detail dan mengurangi celah ketidakpatuhan. Mekanisme wajib pungut PPN dalam sistem restitusi yang rumit juga tidak selalu berkorelasi dengan administrative cost yang rendah.

Kedua, deviasi atas sistem PPN. Dalam mekanisme normal, PPN dibebankan ke konsumen akhir dan dipungut oleh penjual (PPN Keluaran). Sementara pada saat penjual tersebut membeli barang dari pemasok, pemasok tersebut yang diberi tanggung jawab memungut PPN (PPN Masukan). 

Di sisi lain, dalam mekanisme wajib pungut, pemungutan PPN dilakukan bukan oleh penjual, namun oleh pembeli ataupun badan lain yang ditunjuk sebagai pemungut PPN. Sebagai akibatnya, PPN Keluaran perusahaan rekanan pemungut PPN menjadi nol, karena dipungut oleh pemungut PPN.

Padahal, jika melihat kembali prinsip dasar PPN, terdapat prinsip netralitas yaitu: pemungutannya tidak boleh mempengaruhi keputusan ekonomi dari para pelaku bisnis maupun terhadap konsumen (Ecker, 2013).

Untuk dapat bersifat netral terhadap keputusan bisnis, PPN tidak boleh menjadi biaya dalam proses produksi. Oleh karenanya, netralitas PPN dapat tercipta melalui sistem pengkreditan PPN masukan terhadap PPN keluaran (Cnossen, 1987). Pertanyaannya, apakah mekanisme wajib pungut sesuai dengan prinsip netralitas PPN?

Ketiga, terkait dengan ruang lingkup. Berkaca pada beberapa negara, mekanisme wajib pungut PPN lebih banyak diaplikasikan atas transaksi cross-border consumption. Alasannya, pemerintah sulit mengadministrasikan PPN dari pemasok non-resident yang seharusnya bertanggung jawab menjadi pemungut PPN. Melalui mekanisme tersebut, pemerintah terbantu dalam melakukan pemungutan PPN.

Meskipun diterapkan untuk transaksi domestik, terdapat pola desain kebijakan wajib pungut yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Negara-negara maju cenderung mengatur penerapan reverse charge berdasarkan atas transaksi atau barang yang spesifik, seperti di Inggris ataupun Swedia. Sementara di negara berkembang, reverse chargeberfokus pada penentuan mengenai pihak yang menjadi pemungut, seperti di Kenya.

Keempat, terkait dengan dampak kebijakan. Selain untuk mencegah kebocoran penerimaan, mekanisme ini juga dianggap mampu menjamin kesinambungan arus kas pemerintah (National Tax Research Center, 2011). Akan tetapi, sistem ini juga tidak luput dari masalah. Permasalahan yang kerap muncul umumnya terkait dengan arus kas pada perusahaan rekanan pemungut PPN (Evans, 2003). Penyebabnya, perusahaan tidak memperoleh PPN Keluaran apabila bertransaksi dengan pemungut PPN.

Mekanisme ini justru dapat mengurangi modal yang diperlukan untuk day-to-day operation perusahaan (Pereira, 2009). Selain menyebabkan permasalahan terkait arus kas, mekanisme wajib pungut juga menyebabkan penambahan biaya (compliance cost) yang harus ditanggung oleh perusahaan rekanan.

Selain itu, karena bergantung kepada pihak ketiga dalam pemungutannya, maka penerimaan negara justru akan berkurang apabila pemungut PPN tidak mematuhi kebijakan tersebut. Di Kenya, kebijakan wajib pungut PPN dapat dikatakan kurang berhasil karena agen yang ditunjuk menjadi pemungut PPN justru melalaikan tugasnya. Kegagalan tersebut justru mengancam penerimaan negara dari PPN.

Kelima, terkait dengan opportunity cost. Dalam mekanisme wajib pungut, terdapat sebagian kas perusahaan rekanan yang tertahan di kas negara. Kas yang tertahan tersebut sesungguhnya menjadi opportunity cost, baik bagi perusahaan rekanan maupun bagi otoritas pajak.

Sebagai contoh, apabila diinvestasikan dalam deposito saja, maka baik perusahaan rekanan maupun otoritas pajak mendapatkan penghasilan tambahan, dalam bentuk bunga deposito dan pajak final atas penghasilan bunga. Apabila perusahaan memilih investasi lain yang lebih berisiko, maka return yang diperoleh perusahaan akan semakin meningkat yang artinya otoritas pajak dapat memungut pajak yang lebih banyak.

Perusahaan rekanan tersebut juga bisa mengalokasikan kas tersebut bagi upaya yang lebih produktif semisal pengembangan bisnis. Pengembangan bisnis berarti menambah tenaga kerja, meningkatan penjualan, ataupun laba usaha, yang berarti dapat meningkatkan penerimaan PPN sekaligus PPh. Efek pengganda (multiplier effect) dari kas perusahaan yang tidak tertahan pada kas negara agaknya juga perlu untuk dipertimbangkan.

Tinjauan Penerapan Kebijakan Wajib Pungut di Indonesia

KEBIJAKAN wajib pungut PPN di Indonesia mulai diberlakukan sejak 31 tahun silam, di mana saat itu Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 1986. Keppres tersebut mengatur penunjukan Kantor Perbendaharaan Negara sebagai pemungut PPN.

Terdapat dua alasan di balik pemberlakukan kebijakan tersebut. Pertama, terkait asumsi bahwa perusahaan rekanan pemerintah belum mampu melakukan perhitungan, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan/atau PPnBM sendiri. Kedua, terkait dengan pengamanan penerimaan negara (Sukardji, 2015).

Hingga saat ini, pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN terus mengalami perluasan. Berdasarkan peraturan berikut: (i) KMK Nomor 563/KMK.03/2003; (ii) PMK Nomor 73/PMK.03/2010; (iii) PMK Nomor 85/PMK.03/2012; serta terakhir (iv) PMK Nomor 37/PMK.03/2015, bendaharawan pemerintah, Kantor Perbendaharaan Negara, kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin minyak dan gas bumi serta sumber daya panas bumi, BUMN, BUMN yang telah direstrukturisasi, dan anak perusahaan yang dimiliki langsung oleh BUMN ditunjuk sebagai pemungut PPN.

Mencermati adanya pro dan kontra dari mekanisme wajib pungut, baik secara konsep maupun secara empiris, ada baiknya dilakukan kajian mendalam mengenai relevansi dan analisis dampaknya di Indonesia. Terlebih sejauh mana mekanisme tersebut selaras dengan berbagai proyek strategis nasional di sektor tertentu.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.