HENDRAWAN SUPRATIKNO:

'Reformasi Pajak Jangan Bikin Stres'

Redaksi DDTCNews
Selasa, 10 Januari 2017 | 17.56 WIB
'Reformasi Pajak Jangan Bikin Stres'

Anggota Komisi XI DPR dan Ketua Bidang Perekonomian DPP PDI Perjuangan Hendrawan Soepratikno. (Foto: DPR)

JAKARTA, DDTCNews – Realisasi penerimaan Ditjen Pajak (di luar PPh migas) per 31 Desember 2016 (unaudited) hanya mencapai Rp1.069 triliun, tumbuh 5,7% dari realisasi tahun lalu di bawah rumus pertumbuhan alaminya. Ini adalah pertumbuhan penerimaan terendah dalam 7 tahun terakhir.

Realisasi penerimaan yang rendah itu mengakibatkan tantangan pencapaian target penerimaan 2017 menjadi lebih berat. Apalagi, pada saat yang sama lingkungan makroekonomi tahun ini belum sepenuhnya kondusif. Konsumsi masih tertekan karena harga komoditas dan permintaan global belum pulih.

Lalu upaya apa yang sebaiknya dilakukan? Bagaimana dengan agenda reformasi pajak? Untuk menggali permasalahan ini, DDTCNews menemui Hendrawan Supratikno, salah satu vokalis di Komisi XI DPR yang juga Ketua Bidang Perekonomian DPP PDI Perjuangan. Petikannya:

Realisasi penerimaan pajak tahun 2016 sangat rendah. Bagaimana Anda melihatnya?

Secara umum memang situasi perekonomian domestik dan global belum bersahabat. Ini tentu memberikan tekanan pada penerimaan perpajakan. Dari sisi kelembagaan, memang masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai, begitu pula dari sisi perencanaan dan penetapan target.

Saya kira, kalau kita lihat lagi secara lebih cermat, ada beberapa penyebab yang bisa menjelaskan realisasi penerimaan yang rendah itu. Pertama, asumsi dan target yang ditetapkan terlalu tinggi. Jadi targetnya sangat optimistis, menantang, tapi tidak tercapai.

Pada tahun-tahun sebelumnya, kenaikan target biasanya ditentukan pada tingkat yang wajar, yaitu pertumbuhan ekonomi plus inflasi. Target sering ditetapkan tinggi untuk memacu kinerja. Tapi kalau kelewat tinggi bisa dianggap menciptakan ilusi penerimaan.

Kedua, sistem dan instrumen perpajakan yang digunakan statis dan kurang efektif, basis data wajib pajak masih harus di-update, sehingga belum memadai untuk membantu meningkatkan penerimaan. Ada banyak wajib pajak yang belum terdata. Kalaupun terdata, informasinya tidak akurat.

Ketiga, keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya sosialisasi terhadap kebijakan perpajakan. Dari segi jumlah pegawai, rasionya terhadap wajib pajak masih perlu ditingkatkan. Dengan dukungan SDM, sosialisasi itu tentu akan memperkuat rasa saling percaya antara wajib pajak dan fiskus.

Keempat, masih terdapat kebocoran dalam penerimaan negara di sektor perpajakan. Administrasi perpajakan kita masih memberi ruang negosiasi antara wajib pajak dan aparat atau fiskus. Inilah yang menjadi pintu masuk terjadinya kebocoran tadi. Inilah PR-PR yang harus diselesaikan.

Realisasi 2016 yang rendah tentu memengaruhi capaian penerimaan 2017. Komentar Anda?

Secara umum, target penerimaan pajak pada 2017 lebih realistis, tentunya dengan memperhatikan beberapa aspek pendukung dalam mencapai target tersebut. Jadi, ada peluang capaian penerimaan tahun ini akan memenuhi target atau paling tidak mendekati target.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi tahun ini juga diyakini lebih tinggi ketimbang tahun lalu. Jadi meski secara umum lingkungan makroekonomi belum sepenuhnya kondusif karena harga komoditas masih tertekan, situasinya tetap lebih baik dari tahun lalu.

Yang perlu dicatat, berbagai faktor pendukung itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada perbaikan dari sisi kelembagaan dan sistem administrasi perpajakan. Kita akan lihat nanti bagaimana capaian penerimaan melalui mekanisme APBN Perubahan, apakah perlu dilakukan evaluasi atau koreksi.

Bagaimana dengan kontribusi penerimaan dari putaran terakhir tax amnesty?

Nah, ini peluang yang harus dimaksimalkan. Waktunya terbatas, tarif tebusannya paling tinggi. Jadi saya kira, putaran terakhir tax amnesty ini harus lebih eksklusif dibandingkan dengan putaran pertama dan kedua. Intensitasnya perlu meningkat, ibaratnya sekarang ini masuk porseneling 5.

Jadi waktu periode pertama, fokus pemerintah terutama adalah sosialisasi. Lalu pada periode kedua Oktober-Desember 2016, mulai terlihat ada fokus ke kelompok atau segmen tertentu seperti UMKM, yang memang berpotensi. Di periode kedua, partisipasi tax amnesty kan didominasi UMKM.

Nah, pada kesempatan terakhir ini, Ditjen Pajak harus lebih bekerja keras guna memperoleh target yang telah ditetapkan, juga mulai dengan menyentuh aspek hukumnya, karena memang kebijakan tax amnesty akan berakhir pada periode ketiga ini.

Bagaimana dengan dukungan dari sisi regulasi dan kelembagaan DJP?

Ini kaitannya terutama dengan revisi Paket UU Perpajakan. Kami di DPR ini masih menunggu, kapan pemerintah siap untuk membahas revisi UU Ketentuan Umum dan Perpajakan (KUP). Kelembagaan DJP, apakah mau dijadikan badan semiotonom, kan diatur di UU KUP itu.

Nanti bila pembicaraan tingkat I di Komisi XI sudah dimulai, kami akan tahu persis arah dan substansi perubahan itu. Untuk sekarang, kami bersabar menunggu pemerintah menyelesaikan pekerjaannya dahulu. Revisi UU KUP kan bagian dari reformasi perpajakan. Tapi tentu lebih cepat lebih baik.

Menurut Anda, apakah kewenangan fiskus perlu diperkuat untuk memaksimalkan penerimaan?

Pada prinsipnya, penguatan kewenangan memang diperlukan untuk mengoptimalkan penerimaan. Tapi harus kita cermati. Penguatan kewenangan tanpa tuntunan profesionalisme dan akuntabilitas, juga pengawasan, akan berubah jadi hak memeras. Ini berbahaya dan menakutkan untuk wajib pajak.

Maksud saya, upaya peningkatan penerimaan negara harus dilakukan dengan instrumen dan tata kelola yang akuntabel dan adil. Jika tidak, reformasi sistem perpajakan tidak akan berjalan. Pajak harus melayani dan mendorong perekonomian, bukan jadi beban. Reformasi pajak tidak boleh bikin stres.

Karena itu, yang harus kita bangun adalah kultur perpajakan sebagai kultur saling percaya antara fiskus dan pembayar pajak, kultur tanggung jawab dan pelayanan. Tata kelola dan kapasitas institusi perpajakan harus baik, transparan dan kredibel.

Ini yang harus menjadi tujuannya, yaitu menciptakan sistem perpajakan yang kuat dan adil, dengan sistem perpajakan yang seimbang dasn lingkungan dunia usaha yang bersahabat dan lebih kondusif. Jadi bukan untuk memperkuat kewenangan fiskus atau DJP.

Apabila pajak lebih melayani, lebih mempermudah wajib pajak, menambah tanggung jawab fiskus itu tentu akan menghasilkan output yang lebih baik karena tidak dianggap sebagai ‘teror ke  masyarakat. Intinya saya berada di sisi yang lebih memberikan kepastian dan kemudahan. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.