Buku yang telah diterbitkan DDTC. Hingga saat ini, DDTC telah menerbitkan 30 buku perpajakan.Â
PAJAK pertambahan nilai (PPN) tidak menimbulkan adanya beban pajak atas pajak (cascading effect). Keunggulan PPN itu muncul karena adanya skema pengkreditan pajak masukan (PM) atas pajak keluaran (PK). Oleh karena itu, mekanisme restitusi pada hakikatnya merupakan konsekuensi logis dari sistem PPN yang dianut.
Ulasan mengenai konsep dasar PPN itu menjadi salah satu bab tersendiri dalam buku terbitan DDTC pada 2024 berjudul Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Ulasan lebih dalam tentang PPN juga telah dimuat dalam buku yang diterbitkan DDTC pada 2018 berjudul Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Baca e-book di Perpajakan DDTC.
Berdasarkan ulasan pada kedua buku tersebut, dalam perspektif sejarah, PPN merupakan inovasi fiskal dan jenis pajak yang relatif baru serta dianggap sebagai bentuk pemajakan yang modern. Pengenalan PPN secara universal bahkan disebut-sebut merupakan peristiwa terpenting dalam evolusi pajak yang terjadi pada paruh terakhir di abad ke-20.
Adapun sebelum PPN diterapkan, pajak atas konsumsi sebagai jenis pajak tidak langsung dikenakan terbatas pada produk tertentu. Contoh, cukai atas alkohol dan tembakau. Selain cukai, dikenal juga pajak penjualan dan pajak peredaran, tetapi muncul distorsi berupa cascading effect. Adanya distorsi sekaligus tuntutan peningkatan penerimaan mendorong pencarian alternatif bentuk pajak lain.
Gagasan dasar mengenai PPN pertama kali muncul dari seorang pengusaha Jerman, Wilhelm von Siemens, yang menyadari adanya masalah yang ditimbulkan dari penerapan pajak peredaran. Pada 1920-an, melalui tulisannya, von Siemens mengembangkan gagasannya tersebut dengan nama ‘perbaikan pajak peredaran’ atau penyempurnaan pajak peredaran’ (Schenk dan Oldman, 2007).
Selain itu, konsep awal dari PPN juga dicetuskan Thomas S. Adams pada 1921 di Amerika Serikat. Konsep yang dijelaskan pada saat itu adalah cara pengkreditan PM atas PK sebagai upaya untuk menghindari terjadinya cascading effect. Konsep ini yang sekarang kita kenal dengan metode pengkreditan PM terhadap PK (invoice-credit method) (Ebrill, et al., 2001).
Gagasan dan konsep pada 1920-an itu akhirnya membentuk kesimpulan bahwa ‘perbaikan pajak peredaran’ adalah pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi saat transaksi. Namun, dengan pengkreditan PM terhadap PK, pajak dipungut hanya atas pertambahan nilai yang timbul pada setiap tahapan. Gagasan dan konsep inilah yang menjadi awal lahirnya PPN.
Adapun PPN pertama kali diterapkan di Prancis pada 1948 dalam bentuk pengenaan pajak di tahap pabrikan. Pada 1954, Prancis mengubah pengenaan PPN yang semula hanya di tahap pabrikan menjadi pengenaan pajak di seluruh tahapan produksi dan distribusi. Simak pula ‘Periode 1960 hingga Sekarang, Negara yang Terapkan PPN Terus Bertambah’.
Pada praktiknya, sebagian besar negara menerapkan PPN sebagai pengganti pajak penjualan (PPn). Hal ini juga berlaku di Indonesia. Tinjauan ini juga telah diulas dalam buku yang diterbitkan DDTC pada 2022 berjudul Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Baca e-book di Perpajakan DDTC. Â
Istilah pajak atas pajak menunjuk kepada sistem pemungutan ketika pajak yang dikenakan pada tahap kegiatan sebelumnya ditambahkan lagi sebagai dasar pengenaan pajak (DPP) untuk tahap berikutnya. Artinya, pajak menjadi bagian dari harga barang atau jasa yang diserahkan. Pajak tersebut terkandung dalam harga jual yang digunakan sebagai basis untuk menghitung besarnya pajak pada tingkat berikutnya. Hal ini menyebabkan terjadinya cascading effect.
Buku terbitan DDTC tersebut juga memuat contoh (ilustrasi) mekanisme penghitungan PPn (yang memunculkan cascading effect). Asumsinya, tarif pajak (PPn) sebesar 10%.
Jika melihat ilustrasi tersebut, dari beberapa lajur usaha, konsumen akhir harus membayar senilai Rp77.000 yang di dalamnya terkandung PPn senilai Rp28.000. Hal ini terjadi karena penghitungan DPP dilakukan dengan memasukkan unsur pajak yang telah dibayar pada tingkat sebelumnya. Alhasil, jumlah pajak yang dibayar ke kas negara terakumulasi menjadi senilai Rp28.000.
Padahal, jika pajak hanya dikenakan sekali maka harga yang harus dibayar konsumen senilai Rp49.000,00 dan pajak 10% dari Rp49.000 atau Rp4.900. Akibatnya, telah terjadi cascade effects senilai Rp23.100 yang berasal dari Rp28.000 dikurangi Rp4.900.
Untuk lebih memberikan pemahaman, buku terbitan DDTC juga mengilustrasikan penghitungan PPN yang tidak mengandung unsur pengenaan pajak atas pajak.
Jika melihat ilustrasi tersebut, baik dengan metode multi stage levy maupun retail tax dengan metode single stage levy (pengenaan pajak sekali saja atas penyerahan yang dilakukan oleh seluruh pengusaha, baik pedagang eceran, maupun pengusaha yang melakukan penyerahan langsung kepada konsumen), akan menghasilkan jumlah pajak yang sama, yaitu Rp4.900.
Dari kedua ilustrasi tersebut, harga yang dibayar konsumen dengan sistem PPn menjadi lebih tinggi. Hal ini berbeda dengan harga yang dibayar konsumen dengan sistem PPN karena tidak mengandung pengenaan pajak atas pajak (cascading effect). Dalam konteks inilah, skema restitusi juga menjadi faktor penting sehingga tidak mengganggu cashflow pelaku usaha.
Buku ke-27 DDTC berjudul Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran juga memuat artikel berjudul Urgensi Meracik Kembali Mekanisme Restitusi PPN di Indonesia. Karena sebagai konsekuensi logis dari sistem PPN, secara prinsip, restitusi harus diberikan segera setelah kelebihan pajak masukan muncul.
Artikel tersebut memuat ulasan singkat tentang perkembangan regulasi tata cara restitusi pajak di Indonesia. Penulis juga menjabarkan adanya 4 alasan kuat perlunya untuk meracik kembali mekanisme restitusi PPN di Indonesia. Selain itu, penulis juga menyodorkan 3 hal yang harus dipenuhi agar desain administrasi restitusi PPN efisien. Download versi PDF buku tersebut di sini.
Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 30 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. Simak ‘Kontribusi untuk Negeri, DDTC Sudah Terbitkan 30 Buku Perpajakan’. (kaw)