Atika Risma Ilmawati,
PANDEMI Corona Virus Disease (Covid-19) salah satunya telah mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada sektor riil, dampak Covid-19 bisa terlihat dari sisi kesehatan masyarakat yang disertai dengan penurunan aktivitas ekonomi.
Lesunya aktivitas ekonomi telah mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penurunan pendapatan masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran pada Februari 2021 sebanyak 8,75 juta orang, meningkat signifikan dibandingkan kondisi pada Februari 2020 sebanyak 6,93 juta.
Di sisi lain, jumlah orang kaya di Indonesia bertambah meskipun dilanda pandemi Covid-19 Β Laporan Global Wealth Report 2021 yang dirilis Credit Suisse pada Juni 2021 menunjukkan pada 2020, terdapat 171,740 orang Indonesia yang memiliki kekayaan di atas US$ 1 juta. Jumlah itu meningkat 62,3% secara tahunan.
Berdasarkan pada data tersebut, dapat disimpulkan selama pandemi Covid-19, pendapatan kalangan masyarakat tertentu tidak mengalami penurunan. Namun, di sisi lain, jumlah pengangguran yang ada di Indonesia makin meroket naik.
Kondisi tersebut tentu memunculkan kesenjangan yang tingg. Orang-orang kaya memiliki penghasilan yang makin tinggi. Sementara masyarakat berpenghasilan rendah makin terpuruk karena menjadi pengangguran hingga tak lagi mendapat pendapatan akibat pandemi Covid-19.
Dilihat dari sisi pajak, negara-negara lain telah menetapkan standar tarif untuk lapisan penghasilan tertinggi bagi high wealth individuals (HWI). Berdasarkan pada data yang dikutip dari nationmaster.com, tarif pajak lapisan tertinggi untuk orang pribadi di Denmark sebesar 62,28%, Kamerun 60%, Swedia 56,74%, dan Belanda 52%.
Indonesia berada pada urutan ke-52 dengan tarif pajak lapisan tertinggi sebesar 30%. Tarif itu, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 17 Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh), dikenakan terhadap penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta.
Melihat patokan tarif tertinggi di negara lain yang bisa mencapai 62,58%, sangat dimungkinkan untuk Indonesia mengubah ketentuan. Perubahan tarif bisa dilakukan untuk menciptakan keadilan atas kesenjangan yang terjadi antara masyarakat berpenghasilan rendah dan tinggi.
World Bank dalam Indonesia Economics Prospects edisi Juni 2021 memberi usulan peningkatan tarif pajak pada lapisan penghasilan teratas, pengawasan terhadap individu terkaya, serta penjangkauan dan penegakan hukum untuk meningkatkan kepatuhan pemberi kerja.Β
Saat ini, Indonesia memang terdapat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar yang mengawasi wajib pajak orang pribadi kaya. Faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengalokasian sumber daya adalah memperhatikan keberadaan HWI.
Ada pengaruh kuat dari perilaku kepatuhan wajib pajak tersebut terhadap integritas keseluruhan sistem pajak. Tentu saja didasarkan pada persepsi umum bahwa orang yang berpenghasilan tinggi dan kaya belum membayar pajak dalam jumlah yang seharusnya (V. Braithwaite, Reinhart, Mearns, & Graham, 2001; Roth, Scholz, & Ann Dryden Witte, 1989; Slemrod, 2002).
INTERNATIONAL Monetary Fund (IMF), dalam Technincal Notes Revenue Administration: Implementing a High-Wealth Individual Compliance Program yang disusun John Buchanan dan Lucilla McLaughlin, memberikan catatan teknis untuk memandu peningkatan kepatuhan pajak HWI.
Aspek pertama yang dapat dilakukan untuk menghadapi berbagai tantangan terkait dengan HWI adalah dari sisi administrasi pajak. Perlu adanya pengenalan risiko yang dapat ditimbulkan wajib pajak sektor HWI. Perlu adanya sistem administrasi pajak dengan pengenalan risiko kepatuhan yang substansial dan meningkat.
Risiko yang dimaksud antara lain berasal dari kompleksitas pada sisi keuangan, signifikansi potensi pendapatan, dan kecenderungan untuk menggunakan perencanaan pajak yang agresif sebagai upaya untuk meminimalkan tarif pajak efektif.
Kegagalan dalam upaya mengatasi risiko kepatuhan, dengan adanya pembayaran pajak yang relatif kecil, juga dapat berakibat pada berkurangnya kepercayaan terhadap keadilan administrasi perpajakan. Kondisi ini juga dapat menurunkan kepatuhan pajak.
Aspek kedua yaitu kesiapan pemerintah dalam melakukan HWI Compliance Program (HWICP). Ada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan saat menentukan kesiapan. Mulai dari keselarasan program kepatuhan dengan kondisi lingkungan politik hingga tingkat kewenangan untuk memantau dan mengenakan pajak pada HWI melalui administrasi pajak.
Terakhir, saran praktis tentang penerapan HWICP menggunakan model Compliance Risk Management (CRM) sebagai landasan program. Pendekatan CRM berusaha untuk mengidentifikasi berbagai tingkatan risiko kepatuhan.
Terkait dengan pengurangan risiko, ada berbagai cara yang dirancang untuk meningkatkan kepatuhan dan meminimalkan kesenjangan kepatuhan.Β Otoritas juga perlu memastikan setiap HWI mematuhi kewajiban administrasi dan pembayaran.
Pemantauan juga dapat diperluas dengan melakukan profiling individu terkaya. Dengan demikian, pemerintah dapat mengenali tingkat risiko kepatuhan dan dapat mengatasinya dengan cara yang lebih sistematis.
Adanya Technincal Notes Revenue Administration: Implementing a High-Wealth Individual Compliance Program ini dapat menjadi salah satu panduan dalam menentukan suatu kebijakan untuk mengoptimalkan administrasi perpajakan, terutama pada sektor HWI.
Bisa dikatakan HWI adalah salah satu tulang punggung penerimaan negara pada kelompok wajib pajak orang pribadi. Dengan demikian, ada upaya untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi antara orang kaya dan orang miskin sehingga penerimaan negara menjadi lebih optimal.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalamΒ lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaanΒ HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 jutaΒ di sini.