SAAT ini siapa yang tidak kenal dengan permainan Defence of the Ancient (DotA), Mobile Legends, Player’s Unknown Battle Grounds (PUBG), Clash Royale, atau Counter Strikes (CS)? Beberapa permainan tersebut termasuk dalam kategoriesports. Lalu, apa itu esports?
Esports atau electronic sports dapat didefinisikan sebagai permainan komputer kompetitif yang dimainkan oleh pemain profesional, baik secara online maupun offline (Bilginoglu, 2018). Seiring dengan perkembangan teknologi, kini esports tidak hanya dapat dimainkan melalui konsol game atau komputer personal (PC) melainkan dapat juga dimainkan melalui gadget (mobile).
Pada Agustus 2018, esports secara resmi mulai dipertandingkan pada perhelatan olahraga terbesar di Asia, yaitu Asian Games, dalam tahap demonstrasi. Selain itu, esports juga sedang dalam tahap diskusi untuk dapat dipertandingkan pada Olimpiade.
Jauh sebelum tahun 2018, turnamen esports telah banyak diselenggarakan di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa esports merupakan salah satu jenis olahraga yang sedang diminati dalam kancah dunia.
Berdasarkan data dari newzoo.com, dalam rentang tahun 2015-2017 telah terjadi perkembangan penting dalam pasar esports global karena pendapatan dari esports mengalami pertumbuhan sebesar 102%. Untuk di Indonesia sendiri, sampai dengan Oktober 2018, Indonesia menduduki peringkat 17 atas penghasilan games di seluruh dunia dengan total penghasilan mencapai US$1.084 juta.
Berdasarkan data tersebut, potensi penghasilan dari esports sangatlah besar. Penghasilan yang diperoleh oleh pengembang (developer) di antaranya adalah hak penyiaran, iklan, sponsorship, tiket, dan merchandise, serta penghasilan dari penerbitan games. Selain itu, penghasilan bagi pemain dapat berupa hadiah pertandingan, penjualan karakter dalam game maupun dari saluran streaming (van Overbeek dan Molenaar, 2018).
Maraknya esports yang sedang berlangsung hampir di seluruh dunia telah menciptakan turnamen pada tingkat internasional. Hal ini menyebabkan adanya peluang perpajakan berganda atas penghasilan yang diterima baik bagi pemain maupun bagi pengembang.
Lalu, bagaimana Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Model mengatur mengenai hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh pemain dalam konteks antarlintas batas negara?
Karakterisasi
APAKAH esports merupakan olahraga, sehingga pemain dapat dikategorikan sebagai olahragawan? Banyak perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Sebagian berpendapat bahwa esports hanya merupakan hiburan dan tidak adanya transparansi atas hasil pertandingan menjadikannya sulit untuk menerapkan nilai keadilan (fairplay). Sebagian lainnya berpendapat bahwa esports dapat dikategorikan sebagai olahraga karena memenuhi unsur kompetisi, penilaian, dan turnamen (van Overbeek dan Molenaar, 2018).
Apabila esports dapat dikategorikan sebagai olahraga maka para pemain yang melakukan kompetisi dapat juga disebut sebagai olahragawan, sehingga implikasi pajaknya dapat merujuk pada Pasal 17 OECD Model tentang Penghasilan Entertainer dan Olahragawan.
Pasal 17 OECD Model mengatur bahwa penghasilan yang diterima oleh olahragawan (pemain) yang merupakan subjek pajak dalam negeri suatu negara dalam kaitannya dengan kegiatan olahraga (esports) yang dilakukannya di negara lainnya, baik yang diterima secara langsung maupun tidak langsung, dikenakan pajak di negara lainnya di mana pertandingan dilakukan atau di negara sumber.
Namun demikian, OECD Model tidak menjelaskan secara tegas mengenai definisi olahragawan yang dicakup dalam Pasal 17 tersebut, melainkan menginterpretasikan konsep olahragawan dalam arti yang luas (Darussalam dan Dhora, 2017).
Menurut Vogel (1997), olahragawan dapat didefinisikan sebagai orang pribadi yang terlibat dalam kegiatan olahraga atau beberapa bentuk kegiatan fisik maupun intelektual dengan mengacu pada suatu aturan khusus sebagai bagian dari kegiatan rutinnya atau tujuan dari karirnya.
Mengacu pada definisi tersebut, pemain esports yang melakukan kompetisi atau pertandingan baik secara profesional maupun amatir dapat memenuhi kriteria sebagai olahragawan. Oleh karenanya, penghasilan baik berupa hadiah, bonus, penghargaan maupun pembayaran lainnya sehubungan dengan kegiatan esports, hak pemajakannya diberikan kepada negara sumber.
Penghasilan Lain
LEBIH lanjut, Paragraf 9 OECD Commentary atas Pasal 17 memberikan penjelasan mengenai variasi penghasilan dari kegiatan olahragawan yang tidak memiliki hubungan yang erat dengan kegiatan olahraga yang dilakukannya. Namun demikian, OECD Commentary tidak secara jelas menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘memiliki hubungan yang erat’ (Zadek dalam Tettak, 2014).
Atas penghasilan yang tidak memiliki hubungan yang erat akan berlaku ketentuan pasal lainnya dalam OECD Model. Pertama, atas penghasilan berupa pembayaran lisensi yang diterima oleh olahragawan, penentuan hak pemajakannya mengacu pada ketentuan Pasal 12 ayat (1) OECD Model, yaitu dimiliki sepenuhnya oleh negara domisili.
Namun demikian, sebagian besar P3B di dunia tidak mengikuti pembagian hak pemajakan sebagaimana diusulkan oleh OECD tersebut (Jones dan Bobbett, 2006). Oleh karenanya, sebagian besar negara sumber diperbolehkan untuk mengenakan pajak atas pembayaran lisensi. Pembayaran lisensi yang diterima oleh pemain dalam hal ini dapat berupa kegiatan rekaman yang dilakukan oleh pemain melalui saluran streaming maupun rekaman yang diperjualbelikan.
Kedua, atas penghasilan dari sponsor atau periklanan termasuk pembayaran dari endorsement. Atas penghasilan ini, penting untuk terlebih dahulu mengetahui karakteristik dari pembayaran tersebut. Kegiatan sponsorship atau periklanan umumnya didasarkan pada perjanjian atau kontrak antara pemberi sponsor dengan penerima sponsor yang dilakukan melalui suatu media.
Paragraf 9 OECD Commentary atas Pasal 17 menjelaskan dalam hal kegiatan sponsor atau periklanan tidak memiliki hubungan yang erat dengan kegiatan esports yang dilakukan di suatu negara maka ketentuan pajaknya mengacu pada Pasal 7 tentang laba usaha atau Pasal 15 tentang penghasilan dari hubungan pekerjaan.
Namun, dalam menentukan penghasilan sponsor atau periklanan terkait dengan penawaran paket termasuk sebagai laba usaha atau tidak, OECD Model belum mengatur secara pasti mengenai alokasi pemajakan atas penghasilan ini.
Schrettl berpendapat bahwa pembayaran atas penawaran paket sponsor merupakan laba usaha, sedangkan Wassermeyyer menganggap atas pembayaran sponsor berlaku Pasal 17 OECD Model karena masih sehubungan dengan penampilan pemain. Berbeda dengan penghasilan dari periklanan yang tidak mengacu pada aktivitas penampilan tertentu (Darussalam dan Dhora, 2017).
Untuk jenis penghasilan yang berlaku ketentuan Pasal 15 OECD Model adalah penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, yaitu gaji, upah, dan remunerasi lainnya. Karakteristik kontrak yang dilakukan antara pemain dan pihak sponsor atau tim adalah berupa kontrak hubungan kerja karena pemain harus mengikuti instruksi dan menjadi bagian dari tim tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, potensi pajak atas penghasilan dari kegiatan esports sangatlah besar dan akan terus berkembang. Menghadapi tantangan tersebut, perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai pengenaan pajak atas kegiatan esports secara komprehensif dan mendalam.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.