BERITA PAJAK HARI INI

Omzet di Bawah Rp500 Juta, WP OP UMKM Tak Wajib Lapor SPT Masa PPh

Redaksi DDTCNews | Rabu, 10 Januari 2024 | 09:43 WIB
Omzet di Bawah Rp500 Juta, WP OP UMKM Tak Wajib Lapor SPT Masa PPh

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Jika omzet masih belum melebihi Rp500 juta, wajib pajak orang pribadi UMKM tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Unifikasi. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (10/1/2024).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) PMK 164/2023, wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu yang wajib melakukan penyetoran PPh final wajib menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi. Penyampaian dilakukan paling lama 20 hari setelah akhir masa pajak.

“Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi …, apabila pada suatu bulan tidak terdapat kewajiban penyetoran PPh yang bersifat final …,” bunyi penggalan Pasal 7 ayat (4) PMK 164/2023.

Baca Juga:
Pengusaha Pindah ke IKN Harus Penuhi Substansi Ekonomi? Ini Aturannya

Tidak terdapatnya kewajiban penyetoran PPh yang bersifat final yang dimaksud dapat disebabkan oleh 3 kondisi. Pertama, wajib pajak tidak memiliki penghasilan dari usaha. Kedua, wajib pajak hanya menjalankan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh.

Ketiga, peredaran bruto atas penghasilan dari usaha secara kumulatif sejak masa pajak pertama tahun pajak yang bersangkutan (wajib pajak orang pribadi) belum melebihi Rp500 juta.

Seperti diketahui, atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun pajak dari wajib pajak orang pribadi UMKM – yang menggunakan rezim PPh final PP 55/2022 –tidak dikenai pajak. Simak pula ‘Pajak Final UMKM 0,5% Dikali Apa? Simak Lagi Skema di PP 55/2022’.

Baca Juga:
Program Pemagangan di DDTC, Multidisplin Ilmu dan Praktik Langsung

Selain mengenai tidak adanya kewajiban penyampaian SPT Masa PPh Unifikasi bagi wajib pajak orang pribadi UMKM yang memiliki omzet belum lebih dari Rp500 juta, ada pula ulasan terkait dengan ketentuan pengusaha kena pajak. Ada juga bahasan tentang imbauan pelaporan SPT Tahunan.

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya.

Tidak Dikenai Pemotongan/Pemungutan PPh

Selain dikecualikan dari kewajiban untuk menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi, wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet tidak lebih dari Rp500 juta juga tidak dikenai pemotongan/pemungutan PPh ketika bertransaksi dengan pemotong atau pemungut.

"Pemotong atau pemungut PPh ... tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh ... atas transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto atas penghasilan dari usaha tidak melebihi Rp500 juta," bunyi Pasal 8 ayat (2) huruf c PMK 164/2023.

Baca Juga:
Update 2024: Apa Itu Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)?

Agar tidak dikenai pemotongan/pemungutan PPh, wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet tidak lebih dari Rp500 juta harus menyampaikan surat pernyataan. Surat itu menyatakan bahwa peredaran bruto wajib pajak bersangkutan belum melebihi Rp500 juta.

Surat pernyataan harus dibuat dengan menggunakan format sebagaimana yang telah terlampir dalam Lampiran PMK 164/2023. Adapun PMK 164/2023 telah diundangkan pada 29 Desember 2023 dan berlaku sejak tanggal tersebut. (DDTCNews)

Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai PKP

Pada saat PMK 164/2023 mulai berlaku, ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 68/2010 s.t.d.d PMK 197/2013 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kedua pasal tersebut berisi tentang kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).

Baca Juga:
Founder DDTC Cerita Karier Pajak, Memotivasi Ratusan Mahasiswa UNS

Sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) PMK 164/2023, pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP jika sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku mempunyai jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi batasan pengusaha kecil PPN.

Berdasarkan pada Pasal 17 ayat (3) PMK 164/2023, kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling lambat akhir tahun buku saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi batasan. Hal ini berubah dari ketentuan sebelumnya.

Dalam ketentuan sebelumnya, kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4,8 miliar. Simak ‘PMK Baru Atur Waktu Pengusaha Wajib Lapor untuk Dikukuhkan sebagai PKP’. (DDTCNews)

Baca Juga:
Antisipasi Data e-Faktur Hilang, Petugas Pajak Ingatkan WP Lakukan Ini

Ketentuan Masa Pajak Dimulainya PKP Pungut, Setor, dan Lapor PPN

Sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) PMK 164/2023, pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan pada permohonan tersebut wajib memungut, menyetor, serta melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang mulai masa pajak pertama tahun buku berikutnya.

Kendati demikian, PKP yang melaporkan usahanya juga dapat menghendaki pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atau PPN dan PPnBM sebelum masa pajak pertama tahun buku berikutnya. Simak ‘Aturan Baru Mulainya PKP Pungut, Setor, dan Lapor PPN di PMK 164/2023’.

Ketentuan berbeda untuk PKP yang dikukuhkan setelah batas waktu atau dikukuhkan secara jabatan. Kedua PKP yang masuk dalam kriteria tersebut wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang mulai masa pajak dikukuhkannya sebagai PKP. (DDTCNews)

Baca Juga:
Suntikan Modal dari Pemerintah Desa ke BUMDes Tidak Kena Pajak

Email Blast Berisi Imbauan dari Ditjen Pajak

Ditjen Pajak (DJP) akan mengirimkan email blast berisi imbauan kepada wajib pajak agar segera menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2023. Rencananya, email pengingat kepada wajib pajak bakal disampaikan pada bulan depan.

"Biasanya Februari akan kami email blast untuk mengingatkan teman-teman wajib pajak, mana tahu lupa," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti.

Selain batas waktu, email blast bakal dilengkapi dengan informasi mengenai tata cara penyampaian SPT Tahunan. "Itu adalah kebijakan yang baik dan biasanya kami lanjutkan terus. Kami email blast lagi," imbuh Dwi. (DDTCNews)

Baca Juga:
Dalami Pajak, Buku Baru Terbitan DDTC Ini Penting Jadi Bekal Awal

Penggunaan Tarif Efektif Rata-Rata PPh Pasal 21

DJP menegaskan penggunaan tarif efektif rata-rata sesuai dengan PP 58/2023 dalam penghitungan PPh Pasal 21 tidak bersifat opsional.

Penyuluh Ahli Madya DJP Dian Anggraeni mengatakan pemotongan PPh Pasal 21 atas pegawai tetap untuk masa pajak Januari-November dihitung menggunakan tarif efektif bulanan. Pemotongan PPh Pasal 21 pada Desember dihitung menggunakan tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.

"Meski ada 2 jenis tarif, kedua jenis tarif ini sudah diatur sedemikian rupa dan harus diikuti sebagai pedoman pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan wajib pajak orang pribadi. Ini bukan opsional, ini ketentuan baru yang harus kita pedomani bersama," katanya. (DDTCNews)

Baca Juga:
WP Penerima Tax Holiday di Financial Center IKN Bisa Bebas PPh Potput

Pembebasan PPN

Kementerian Keuangan merilis ketentuan baru yang mengatur tentang pembebasan PPN atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak (BKP) serta jasa kena pajak (JKP) untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara. Ketentuan tersebut tertuang dalam PMK 157/2023.

Pembebasan PPN atas BKP dan JKP untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, pembebasan tersebut sudah diberikan, di antaranya melalui KMK 370/KMK.03/2003.

Dalam perkembangannya, pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Melalui UU HPP, pemerintah di antaranya mengubah pengaturan objek pajak dan nonobjek pajak serta pemberian kemudahan di bidang PPN.

Baca Juga:
Gelapkan Uang Pajak Rp 1,06 Miliar, Tersangka Ditahan Kejaksaan

Kementerian Keuangan kemudian menerbitkan PP 49/2022 guna menyesuaikan pengaturan pemberian kemudahan PPN. Merujuk UU HPP dan PP 49/2022, BKP dan JKP untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara kembali mendapatkan pembebasan PPN. (DDTCNews)

Uji Coba Implementasi CTAS

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan saat ini otoritas terus melakukan uji coba terhadap coretax administration system (CTAS) dan beragam aplikasi yang terkait dengan sistem baru tersebut. Rencananya, implementasi penuh CTAS akan dimulai pada Juli 2024.

"Sistem itu kalau mau diimplementasikan kan harus diuji apakah ini sudah benar-benar sesuai yang kita harapkan atau masih ada yang perlu diperbaiki. Sekarang prosesnya terus berlanjut," katanya. (DDTCNews) (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN