OPINI PAJAK

Menyoal Asas Primum Remedium dalam Hukum Pajak

Redaksi DDTCNews
Jumat, 27 September 2024 | 14.25 WIB
ddtc-loaderMenyoal Asas Primum Remedium dalam Hukum Pajak

Christwan Tobing,

Universitas Jayabaya

DALAM sistem self assessment, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan melaporkan kewajibannya secara mandiri. Namun, saat terjadi pelanggaran, muncul pertanyaan: Haruskah sanksi pidana menjadi langkah utama?

Hukum pidana mengenal 2 asas, yaitu ultimum remedium dan primum remedium. Asas ultimum remedium menempatkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum, sebaliknya primum remedium justru mengutamakan sanksi pidana.

Dalam konteks hukum perpajakan, penerapan primum remedium dinilai menciptakan kesenjangan dengan filosofi self assessment. Sanksi pidana yang diterapkan terlalu cepat tentu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan rasa tidak adil.

Salah satu ahli hukum anggaran negara dan keuangan publik dalam putusan pengadilan berpendapat penyelesaian administratif seharusnya diutamakan untuk menjaga pendapatan negara. Sanksi pidana baru relevan ketika upaya administratif gagal dan menyebabkan kerugian negara.

Hukum pajak memiliki posisi unik, sebagai bagian dari hukum administrasi sekaligus hukum publik. Ini mengatur hubungan antara pemerintah dan wajib pajak dengan tujuan utama untuk menghimpun penerimaan negara, bukan menghukum.

Dalam konteks ini, hadirnya sanksi pidana pada hukum pajak atau biasa disebut sebagai administrative penal law lebih berfungsi untuk memastikan kepatuhan administrasi daripada memberikan hukuman pidana, seperti kurungan atau penjara.

Saat ini, sistem perpajakan di Indonesia menganut self assessment. Namun, DJP tetap memiliki kewenangan untuk mengawasi dan melakukan tindakan jika ditemukan pelanggaran. Salah satunya adalah melalui pemeriksaan pajak, di mana hasilnya bisa berujung pada tindakan administratif atau usulan pemeriksaan bukti permulaan.

Dalam mengambil keputusan ini, DJP memakai diskresi berdasarkan UU Administrasi Pemerintah. Diskresi atau freies ermessen merupakan kebebasan bagi pejabat pemerintah untuk menentukan tindakan yang tepat dalam situasi yang tidak diatur secara jelas oleh hukum.

Namun, penggunaan diskresi harus mempertimbangkan batasan moral dan hukum, serta tidak boleh melanggar hak-hak dasar warga negara. Pelaksanaan diskresi yang tepat dan adil sangat penting guna menjaga keseimbangan antara kepatuhan perpajakan dan perlindungan hak wajib pajak.

Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 13A UU KUP

Seorang wajib pajak bernama Puguh Suseno mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 39 ayat (1) huruf d dan huruf i UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dia berpendapat pasal tersebut bernuansa primum remedium.

Hingga saat ini, tak sedikit orang yang berpendapat bahwa asas tindak pidana dalam Pasal 39 ayat (1) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menganut primum remedium. Apalagi, setelah Pasal 13A UU KUP dihapus dalam UU Cipta Kerja.

Ketentuan dalam Pasal 13A UU KUP ditujukan khusus untuk wajib pajak yang alpa dan baru pertama kali melanggar ketentuan dalam Pasal 38 UU KUP yang mengatur sanksi pidana terkait dengan Surat Pemberitahuan (SPT).

Namun, Pasal 13A UU KUP yang dihapus dalam UU Cipta Kerja bukan berarti UU KUP menganut asas primum remedium. Sebab, wajib pajak—yang sedang diperiksa karena melakukan tindak pidana perpajakan dan jumlah pajak yang harus dibayar belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak—diberikan kesempatan mengungkapkan ketidakbenaran atas laporan SPT tersebut.

Selain mengungkapkan ketidakbenaran atas laporan SPT tersebut, wajib pajak harus melunasi pokok pajak terutang ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

Bila sudah melunasi pokok pajak terutang dan sanksi dendanya, wajib pajak bersangkutan tidak akan dilakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (3a) UU KUP s.t.d.t.d UU Cipta Kerja.

Tidak hanya sebelum dilakukan penyidikan sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 8 ayat (3) KUP, UU KUP juga menganut asas ultimum remedium bahkan setelah dilakukan penyidikan sebagaimana tertuang dalam Pasal 44B UU KUP.

Berdasarkan Pasal 44B ayat (1) UU KUP, jaksa agung berwenang untuk menghentikan penyidikan, termasuk menghentikan penuntutan. Jika dihubungkan dengan Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) UU KUP, jaksa agung dapat menghentikan penyidikan sepanjang wajib pajak melunasi pokok pajak dan dendanya.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XXII/2024 pada 21 Maret 2024, disebutkan bahwa pemohon a.n. Puguh Suseno dalam salah satu permohonannya menjelaskan bahwa penerapan sanksi pada UU 28/2007 mengedepankan asas ultimum remedium.

Pemohon menambahkan khusus Pasal 39 ayat (1) huruf d dan huruf i UU 28/2007 justru mengedepankan prinsip primum remedium pidana sebagai keutamaan, bahkan penerapan pasal-pasal pidana pada UU 28/2007 tidak mempunyai parameter yang jelas.

Sementara itu, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam salah satu pertimbangannya menyatakan bahwa dengan menggunakan sistem pemungutan self assessment maka wajib pajak memiliki peran penting dalam menyukseskan pelaksanaan pemungutan pajak.

Menurut MK, hal itu sama pentingnya saat wajib pajak memenuhi kewajiban dengan menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya benar dan lengkap yang merupakan konsekuensi logis dari digunakannya sistem self assessment.

“Jika surat pemberitahuan yang dilaporkan isinya tidak benar dan tidak lengkap maka potensial akan merugikan pendapatan negara, dan terdapat indikasi terjadi penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion). Bila ini dilakukan wajib pajak maka akan masuk ke dalam ranah pidana perpajakan,” sebut MK.

Pada pertimbangan lainnya hakim MK juga menyatakan bahwa Pasal 39 ayat (1) huruf d UU 28/2007 telah memenuhi prinsip negara hukum dan memberikan kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, bukan sebagaimana didalilkan oleh pemohon.

Untuk itu, lanjut hakim, dalil permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Sementara itu, hakim juga menyatakan bahwa dalil pemohon yang berkenaan dengan norma Pasal 39 ayat (1) huruf i tidak jelas atau kabur (obscuur) sehingga tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021 dan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Dalam amar putusan MK, disebutkan bahwa permohonan Puguh Suseno berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP tidak dapat diterima. MK pun menolak permohonan Puguh Suseno untuk selain dan selebihnya.

Dengan putusan MK tersebut menunjukkan bahwa tidak ada gap filosofis dalam penegakan hukum dalam bidang perpajakan sebagai administrative penal law. Ini juga berarti penegakan hukum tindak pidana perpajakan menganut asas ultimum remedium dan bukanlah primum remedium.

Secara tersirat, hal itu juga menandakan bahwa pelaksanaan freies ermessen yang dilakukan DJP atas tindak pidana perpajakan dapat dipertanggungjawabkan.

Penulis juga memberikan masukan perihal penegakan hukum perpajakan. Pertama, mempertimbangkan pengaturan sanksi pidana kurungan dalam Pasal 38 UU KUP karena sesuai dengan Pasal 65 UU 1/2023 tentang KUHP, jenis pidana kurungan sudah dihapus (tidak ada lagi).

Kedua, penerapan asas ultimum remedium menurut Pasal 44B UU KUP harus ada koordinasi antara dirjen pajak melalui menteri keuangan dengan jaksa agung dalam menangani tindak pidana perpajakan sehingga tujuan pajak dapat tercapai.

Selain itu, sanksi pidana perpajakan juga diharapkan menjadi obat (remedium) kerugian negara yang ditimbulkan pelaku tindak pidana perpajakan sehingga penerimaan pajak yang merupakan hal yang utama (primum) dapat dipenuhi pelaku dengan memanfaatkan pasal a quo. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.