ANALISIS PAJAK

Menilik Prospek Penerapan Fringe Benefit Tax di Indonesia

Redaksi DDTCNews
Senin, 28 Juni 2021 | 16.05 WIB
ddtc-loaderMenilik Prospek Penerapan Fringe Benefit Tax di Indonesia
DDTC Fiscal Research. 

DALAM rapat kerja bersama Komisi XI DPR terkait dengan pembahasan RUU KUP pada hari ini, Senin (28/6/2021), salah satu isu yang dibahas adalah pengaturan kembali aspek pajak atas natura atau fringe benefit. Rencananya, pemberian natura akan menjadi objek penghasilan bagi penerima dan menjadi biaya bagi pemberi kerja.

Lantas, bagaimana ketentuan perpajakan di Indonesia saat ini dalam melihat pemberian fringe benefit? Apakah pengaturan kembali fringe benefit sebagai objek pajak penghasilan merupakan kebijakan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia?

Ketentuan Saat Ini
SECARA konsep, natura atau fringe benefit merupakan bentuk tunjangan yang melengkapi atau di luar upah atau gaji normal (OECD Glossary). Selain itu, fringe benefit  juga diartikan sebagai segala bentuk kompensasi nontunai yang secara sukarela diberikan pemberi kerja kepada karyawannya (Turner, 1999). Bentuknya bisa beragam, seperti akomodasi gratis, tunjangan liburan, fasilitas kendaraan, opsi saham karyawan, dan sebagainya.

Dalam praktiknya, pemberian natura terhadap pegawai merupakan hal yang lumrah dilakukan. Biasanya natura diberikan karena jabatan tertentu, reward atas kinerja, atau hal lainnya. Pengusaha menggunakan fringe benefit untuk membantu mereka dalam merekrut, memotivasi, dan mempertahankan orang-orang berkualitas di perusahaannya.

Dalam ketentuan saat ini, pemberian fringe benefit atau natura bukan merupakan objek penghasilan (non-taxable income). Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh. Namun, apabila natura tersebut diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final, atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit), atas natura tersebut dikenakan pajak (taxable income).

Dari sisi pengusaha, biaya yang dikeluarkan dalam bentuk natura juga tidak dapat menjadi biaya pengurang penghasilan bruto (non-deductible expense) sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh.

Pengecualian hanya diberikan untuk biaya penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara melihat pemberian fringe benefit atau natura sebagai objek pajak. Di Australia dan Selandia Baru disebut dengan fringe benefit tax (FBT). Tentunya, kebijakan yang diterapkan bervariasi, mulai dari cakupan natura yang dipajaki, tarif dan dasar pengenaan pajaknya, hingga penanggung beban pajak tersebut.

Pertimbangan
UNTUK Indonesia sendiri, terdapat beberapa alasan mengapa FBT dapat menjadi salah satu opsi kebijakan PPh orang pribadi yang dapat dipertimbangkan.

Pertama, sebagai upaya mengimbangi ketimpangan tarif PPh orang pribadi dan PPh badan. Sesuai dengan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022, pemerintah berencana menambahkan lapisan tarif baru PPh orang pribadi sebesar 35%. Adapun tarif PPh orang pribadi saat ini diterapkan secara berjenjang, yaitu 5%, 15%, 25%, dan 30%.

Di sisi lain, tarif umum PPh badan yang saat ini berlaku sebesar 22% dan akan menjadi 20% mulai tahun depan. Penyesuaian tarif PPh OP tertinggi menjadi 35% ini pada akhirnya akan membuat selisih atau gap yang kian besar dengan tarif PPh badan. Penerapan FBT dipercaya dapat membantu mengurangi tax planning yang timbul dari gap tersebut.

Dengan gap tarif yang tinggi, pengusaha akan cenderung memberikan kemampuan ekonomis dalam bentuk natura. Melalui penerapan FBT, upaya perencanaan pajak (tax planning) dengan melakukan shifting penghasilan berbentuk tunai atau cash (seperti gaji dan tunjangan) ke bentuk natura (benefit in kind) guna mengurangi beban PPh orang pribadi dapat diminimalkan.

Kedua, penerapan FBT sebagai upaya optimalisasi penerimaan PPh orang pribadi sekaligus mengurangi ketimpangan. Umumnya, kelompok karyawan yang perpenghasilan tinggi atau pemilik modal yang mendapatkan fasilitas atau natura lebih besar dibandingkan dengan karyawan lainnya.

Sementara itu, atas tambahan kemampuan ekonomis dalam bentuk natura tersebut tidak bisa dipajaki. Pada akhirnya, ketimpangan atas penghasilan maupun kekayaaan pun kian membesar. Dalam hal ini, FBT dapat berperan untuk mengurangi ketimpangan tersebut.

Ketiga, sejalan dengan tren dan praktik di negara lain. FBT sudah diterapkan di beberapa negara seperti Australia, Selandia Baru, India, China, Hong Kong, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Begitu pun dengan negara tetangga seperti Singapura dan Filipina.

Penerapan FBT sendiri bervariasi di setiap negara. Cakupan fringe beneft sendiri memiliki arti yang luas dalam konteks pengenaan pajaknya (Kumar dan Nagaruju, 2006). Namun demikian, tidak semua pemberian natura dikenakan FBT. Umumnya, terdapat pengecualian.

Contohnya, pemberian skema saham karyawan tidak dikenai FBT di Australia. Selain itu, ada negara yang membebankan FBT kepada pemberi kerja (employer) seperti Selandia Baru. Sementara di negara lainnya membebankan kepada pihak karyawan (employee).

Dari sisi tarif juga bervariasi dan relatif tinggi. Australia mengenakan FBT dengan tarif 47%. Selandia Baru lebih tinggi lagi, yaitu 63,93%. Sementara itu, Filipina mengenakan tarif 35%. Pertanyaannya, mengapa tarif pajaknya begitu tinggi?

Aturan FBT pada umumnya dirancang untuk memastikan tunjangan dalam bentuk natura juga dikenai pajak secara efektif dengan tarif yang sama dengan gaji atau upah tunai. Dalam hal ini, tarif marginal FBT merupakan gross-up dari tarif marginal PPh OP.

Keempat, memenuhi prinsip simetri dalam sistem pajak. Dengan menerapkan FBT – natura diperlakukan sebagai objek PPh bagi penerimanya (taxable income) – maka atas biaya natura yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat dibiayakan secara fiskal (deductible expense). 

Prinsip taxable-deductible ini berarti apabila suatu penghasilan dapat dipajaki bagi pihak yang menerimanya maka atas pengeluaran penghasilan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya oleh pihak yang mengeluarkannya.

Berdasarkan pada alasan-alasan di atas, rencana pemerintah dalam menerapkan FBT patut didukung. Efek penyesuaian tarif PPh orang pribadi yang lebih tinggi perlu diantisipasi dengan kebijakan lain, salah satunya FBT. Dengan demikian, penyesuaian tersebut dapat efektif dan memberikan dampak siginifikan terhadap penerimaan negara.

Namun demikian, penerapan FBT ini tidaklah mudah. Terdapat beberapa tantangan, di antaranya pertama, tidak semua semua imbalan dapat diatribusikan secara individual kepada karyawan, terutama dalam kasus Ketika imbalan tersebut dinikmati secara kolektif.

Kedua, banyak tunjangan disamarkan sebagai penggantian atau pengeluaran lain-lain sehingga memungkinkan karyawan untuk ‘melarikan diri’ dari kewajiban pajak mereka. Ketiga, terdapat kesulitan dalam valuasi manfaat yang diterima.

Oleh sebab itu, penentuan skema dan kompleksitas penghitungan tarif dan basis pemajakannya merupakan agenda penting selanjutnya. Satu hal yang pasti, agenda reformasi PPh orang pribadi juga harus tetap berpedoman pada tujuan membangun sistem pajak yang lebih efisien, berkepastian, dan efektif.  

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.