PEMBAHASAN mengenai keberlanjutan dan kesinambungan (sustainability) dari lingkungan hidup selalu menjadi topik yang hangat dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan, agenda memerangi perubahan iklim menjadi isu pembahasan yang tidak hanya bagi para environmentalist melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) kelas dunia, tetapi juga para stakeholder internasional lainnya.
Turunnya kualitas lingkungan hidup juga sudah menjadi persoalan serius di Indonesia. Contohnya saja, kita tentu masih ingat viralnya unggahan foto seorang social media influencer yang menampakan salah satu pantai di Bali telah tercemar oleh sampah plastik. Isu lainnya, kritik atas perkembangan industri fast-fashiontanah air karena dianggap memiliki biaya lingkungan (environmental cost) yang tinggi.
Adanya fakta-fakta kerusakan lingkungan hidup menjadi urgensi berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pelaku industri, hingga masyarakat secara individual untuk segera melakukan pembenahan. Lalu, bagaimanakah kebijakan pajak dapat berperan mengurangi dampak kerusakan lingkungan?
Insentif versus Regulasi
DALAM hukum lingkungan (environmental law), terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan guna menangani kerusakan lingkungan, yakni pendekatan berbasis insentif ekonomi berdasarkan mekanisme pasar (market-based instrument/MBI) atau pendekatan untuk mengatur perilaku secara langsung yang fokus pada regulasi (command-and-control/CAC).
Menurut MacEachern (2013), dalam Market-based Instruments within The Green Economy, disebutkan tiga klasifikasi pendekatan MBI. Pertama, price-based MBIs yang menekankan perubahan perilaku apabila terdapat perubahan harga, misalnya atas adanya pengenaan subsidi ataupun pungutan.
Kedua, rights-based MBIs yang merujuk pada perubahan perilaku apabila terdapat kewajiban yang ditetapkan. Ketiga, market friction MBIs, yaitu produsen melakukan upaya untuk mengubah pola konsumsi dari konsumen, seperti ekolabel.
Adanya strategi untuk mendorong dipilihnya opsi terhadap green investment maupun green supply chain di industri tertentu berbasis mekanisme pasar merupakan suatu bentuk pendekatan MBI. Pendekatan MBI juga kerap dinilai lebih ‘ramah’ dibandingkan pendekatan CAC yang menekankan adanya suatu batasan dan larangan. Selain itu, MBI juga dipercaya sebagai cara efektif untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup karena juga salah satu bentuk dari polluter-pays principle (Bakker, 2009).
Pada dasarnya, intervensi pemerintah untuk menjaga kualitas lingkungan hidup dapat dilakukan melalui dua hal. Pertama, dalam perspektif positif dapat dilakukan dengan mendorong perilaku yang justru bisa melestarikan lingkungan hidup. Sebagai contoh, adanya pungutan untuk membiayai jasa lingkungan hidup (payment for environmental services/PES).
Kedua, dalam perspektif negatif perlindungan lingkungan dapat dilakukan dengan mengoreksi aktivitas yang dapat merusak lingkungan. Salah satu yang kerap dipergunakan adalah pigouvian tax, yaitu pajak yang dikenakan kepada pihak yang aktivitas ekonominya memberikan dampak eksternalitas negatif (Kristiaji, 2016). Dengan demikian, intervensi secara positif maupun negatif tersebut dapat dilakukan, salah satunya dengan cara implementasi kebijakan pajak (tax policy) (Garcia dan Roch, 2016).
Green Taxes
DEWASA ini, banyak negara mulai mempertimbangkan adanya pengenaan maupun perluasan green tax. Green tax secara umum dikenakan atas aktivitas produksi dan konsumsi barang dan/atau jasa yang dinilai dapat merusak lingkungan.
Pendapatan negara dari green tax diharapkan dapat berkontribusi pada restorasi lingkungan hidup dan juga menjadi sumber pembiayaan untuk kegiatan yang lebih ramah secara lingkungan (Garcia dan Roch, 2016).
Namun demikian, persoalan yang memungkinkan muncul dari penerapan green tax ialah tidak tercapainya tujuan untuk mengubah pola konsumsi untuk tujuan lingkungan (environmental goal). Namun, hanya sebatas ketersediaan anggaran untuk pemulihan kerusakan lingkungan semata (Bakker, 2009).
Contoh penerapan green tax dapat dilihat di Israel. Di negara tersebut, skema green tax diterapkan pada pungutan atas emisi kendaraan. Kehadiran pajak tersebut diharapkan dapat memengaruhi perilaku masyarakat dalam memilih kendaraan yang beremisi rendah dan tentunya akan memengaruhi aktivitas produksi kendaraan (OECD, 2016).
Di Indonesia, saat ini penerapan green tax dapat merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Tiga bentuk pendanaan lingkungan hidup—Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup (DJPLH), Dana Penanggulangan Pencemaran dan/atau Kerusakan Pemulihan Lingkungan Hidup (DP2KPLH), serta Dana Amanah/Bantuan Konservasi—diperoleh dari APBN, APBD, dana hibah, serta pajak dan retribusi lingkungan hidup yang dapat diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pajak tentu dapat membantu tujuan kelestarian lingkungan hidup, baik melalui kontrol perilaku (behavioral changes) maupun dari segi penerimaan yang dapat digunakan untuk pembiayaan restorasi. Namun, kebijakan pajak saja belum cukup. Kerusakan alam tentu perlu disikapi bersamaan dengan individu yang semakin bijak dan turut serta menjaga lingkungan hidup. Kamu kapan?*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.