Para narasumber dalam acara seminar pajak internasional IFA 2018, Financial Hall Graha CIMB Niaga Jakarta, Rabu (5/12/2018). (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – International Fiscal Association (IFA) Cabang Indonesia menggelar seminar pajak internasional bertema “Recent International Tax Developments and its Implementation in Indonesia” pada hari ini, Rabu (5/12/2018), bertempat di Financial Hall Graha CIMB Niaga Jakarta.
Seminar tahunan yang dihadiri lebih dari 100 orang ini secara umum membahas beragam isu perpajakan dan perubahan lanskap perpajakan internasional. Seminar ini dibagi menjadi empat sesi dengan topik tertentu dan satu sesi diskusi panel.
Ketua IFA Ichwan Sukardi hadir untuk membuka acara. Dalam kesempatan itu, dia menyampaikan bahwa seminar ini bertujuan untuk bertukar pemikiran terkait isu-isu regulasi di Indonesia dalam konteks perubahan lanskap perpajakan internasional.
Seminar dilanjutkan dengan pemberian keynote speech oleh Direktur Perpajakan Internasional DitjenPajak John Hutagaol International. Menurutnya, terdapat empat variabel yang menyebabkan perubahan lanskap pajak internasional.
"Globalisasi, underground economy, global economic growth, dan yang terakhir pengembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat progresif. Namun, saat ini masih terdapat asimetri informasi sehingga otoritas pajak tidak memiliki informasi yang cukup mengenai empat hal tersebut," jelasnya.
John mengatakan Ditjen Pajak mengakui bahwa diperlukan perubahan kebijakan dalam rangka memastikan kebijakan pajak di Indonesia sejalan dengan perubahan lanskap pajak internasional. Untuk itu, Ditjen Pajak ikut berkolaborasi secara internasional dalam rangka menangani permasalahan base erosion and profit shifting (BEPS) yang diprakarsai oleh OECD dan G20.
“Indonesia telah bergabung bersama 124 negara dan yurisdiksi lainnya untuk bekerja sama dalam OECD Inclusive Framework terkait BEPS dalam rangka mengatasi penghindaran pajak,” paparnya.
Sesi pertama membahas mengenai perkembangan isu transfer pricing (TP). Sesi ini diawali oleh presentasi dari Senior Partner DDTC Danny Septriadi. Sebagai informasi, Danny Septriadi dinobatkan sebagai salah satu World’s Leading Transfer Pricing Advisers 2016/2017 menurut Expert Guides. Sedangkan DDTC menduduki tier 1 konsultan pajak transfer pricing 2019 di Indonesia dari International Tax Review.
Danny memaparkan mengenai situasi dan tren sengketa sebelum dan setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/2016 (PMK 213/2016) yang mengatur perihal dokumentasi transfer pricing. Ia melihat dari dua sisi, yaitu terkait penetapan waktu dalam konteks perubahan price testing menjadi price setting setelah adanya PMK 213/2016 dan pengujian transaksi intangible.
“Sengketa terkait intangible semakin meningkat, terutama pada penentuan pembanding,” ujarnya.
Dalam paparannya, Danny juga mengatakan terdapat tren sengketa pajak terkait pengeluaran advertisement, marketing, and sales promotion (AMP), terutama dalam konteks pembayaran royalti atas merk dagang (trademark royalties). Selain itu, lanjutnya, pola sengketa yang terjadi tetap sama, yaitu masih terkait dengan keberadaan atau manfaat dari pembayaran royalti atau jasa, seleksi perusahaan pembanding, dan perusahaan yang rugi.
Dalam sesi pertama ini, terdapat juga presentasi dari Vice Managing Partner PB Taxand Permana Adi Saputra dan Kepala Seksi Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional II Ditjen Pajak Edi Sihar Tambunan.
Permana membahas mengenai bagaimana menghadapi pemeriksaan transfer pricing di Indonesia. Dia juga menjelaskan studi kasus terkait management services dan metode transactional net margin method (TNMM). Sesi pertama ditutup oleh Edi yang memberikan pemaparan terkait regulasi transfer pricing di Indonesia dan penerapan arm's length principle (ALP). (Amu)