LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Mengobati Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi

Redaksi DDTCNews | Selasa, 13 Oktober 2020 | 09:41 WIB
Mengobati Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi

Nanda Yunita, Sukoharjo, Jawa Tengah

BELUM lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 berkisar -2,9% sampai -1,0%. Itu berarti, Indonesia harus mempersiapkan diri menyusul 44 negara lain yang telah sah masuk ke dalam jurang resesi.

Resesi yang disebabkan oleh perlambatan ekonomi 6 bulan terakhir ini diibaratkan sebagai flu yang menyerang, dan salah satu obatnya adalah kebijakan pemerintah. Saat ini, semua negara tengah terserang flu tersebut. Kita beruntung kondisi ekonomi kita tidak terpuruk terlalu dalam.

Dalam situasi ini, pajak telah diperankan sebagai instrumen untuk menjaga perekonomian agar tidak semakin terpuruk. Fungsi pajak yang dijalankan saat ini lebih ke arah regulerend dibandingkan dengan budgetair karena kebijakan pajak menjadi salah satu komponen obat bagi pertumbuhan.

Insentif pajak ini merupakan angin segar di tengah pandemi. Insentif pada dasarnya merupakan kebijakan yang mengurangi dasar pengenaan pajak atau penerimaan pajak dan bersifat mengurangi efektivitas, tetapi dapat dibenarkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.

Melalui insentif pajak pemerintah memberikan semangat kepada dunia usaha untuk tetap bertahan menghadapi pandemi. Meski, harus diakui insentif pajak seharusnya tidak diberikan percuma tetapi harus melalui kajian yang mendalam serta pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya.

Sejak Covid-19 menyebar di Indonesia Maret lalu, berbagai kebijakan pajak telah digelontorkan guna menanggulangi virus tersebut. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/PMK.03/2020 yang berlaku mulai 1 April 2020 misalnya.

PMK tersebut berisi sejumlah insentif, antara lain PPh 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30%, dan restitusi PPN dipercepat semua insentif berlaku selama 6 bulan dengan ketentuan sektor manufaktur tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM.

Namun tidak lama, PMK 23/2020 dicabut dan diganti dengan PMK 44/PMK.03/2020. Di PMK ini muncul perluasan sektor manufaktur, WP Kawasan Berikat dan PPh Final UMKM DTP, dengan masa insentif diperpanjang sampai Desember.

PMK 44/2020 memperluas sektor yang mendapatkan insentif karena saat PMK 23/2020 dibuat gugus tugas penanganan Covid-19 belum ada hingga data sektor yang terdampak belum maksimal. Namun, dampak Covid-19 yang kian meluas menuntut pemerintah harus sigap merombak aturan.

PMK 44/2020 kemudian hanya bertahan 3 bulan karena dicabut dan diganti dengan PMK Nomor 86/PMK.03/2020 yang berisi 5 insentif yang sama dengan perluasan sektor dan juga sistem pelaporan untuk PPh 21 DTP dan PPh Final UMKM DTP pelaporan realisasi setiap bulan.

PMK 86/2020 kemudian diubah lagi dengan PMK Nomor 110/PMK.03/2020 yang berlaku sejak 14 Agustus 2020 dengan hadirnya satu insentif baru, yaitu insentif PPh final jasa kontruksi P3-TGAI DTP, dan pengurangan PPh Pasal 25 menjadi 50%.

Efektif sebagai Stimulus
INSENTIF yang efektif ialah insentif yang berkaitan satu sama lain hingga menimbulkan efek berganda. Insentif PPh Final UMKM DTP dan pengurangan PPh Pasal 25 50% akan menjaga pengeluaran pajak alias menjaga modal agar perusahaan tetap beroperasi di tengah pandemi.

Insentif itu didukung insentif PPh 22 impor. Selama pandemi, impor Indonesia diproyeksi tumbuh -16% sampai -26,8% pada kuartal III/2020. Padahal, impor sebagian besar merupakan impor bahan baku dan barang modal. Insentif tersebut diharapkan menghemat pengeluaran pajak perusahaan.

Ketiga insentif tersebut ditambah percepatan restitusi PPN merupakan stimulus yang berkaitan guna mendorong badan usaha untuk bertahan. Inilah yang nantinya membantu PPN dalam negeri tumbuh, terbukti dalam realisasi penerimaan PPN DN tumbuh 1,6% secara bulanan pada Agustus 2020.

Lalu bagaimana dengan insentif PPh 21 DTP? Seperti pernyataan Menteri Keuangan dalam konferensi video beberapa waktu lalu, PPh 21 DTP akan dilakukan redesain. Namun, alih-alih pemberian PPh 21 DTP menaikkan konsumsi masyarakat, penyerapannya justru kurang maksimal.

Realisasinya baru 13,7% dari pagu Rp16,6 triliun. Untuk itu, perlu dikaji ulang pos-pos insentif dan target penerima insentif serta dilakukan pengetatan pelaporannya. Hal ini agar biaya yang dikeluarkan pemerintah tidak terbuang sia-sia dan membantu Indonesia bertahan dari resesi.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

17 Oktober 2020 | 12:13 WIB

semangatt nandaa

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN