Zhafira Sekar Putri,
OPTIMALISASI pajak atas orang kaya (high wealth individuals/HWI) menjadi perhatian Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan masyarakat selama masa pandemi Covid-19.
HWI memiliki keunggulan dalam kekayaan dan penghasilan, hubungan sosial, akses ke konsultan pajak, akses yang lebih mudah pada lembaga permodalan di berbagai negara, serta memiliki aktivitas yang ruang lingkupnya mengglobal (Tanzi, 2012).
Berdasarkan pada Wealth Report 2022 yang dirilis Knight Frank, jumlah orang dengan kekayaan bersih ultratinggi (ultra high net worth individuals/UNWHI) di Indonesia mencapai 1.403 orang pada 2021. Jumlah ini meningkat 1% dari 1.390 pada 2020.
Meskipun demikian, peningkatan HWI di Indonesia tidak berdampak signifikan terhadap realisasi pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPh orang pribadi pada 2021 yang hanya mencapai Rp162,11 triliun atau 11,7% dari total realisasi penerimaan pajak Rp1.227,53 triliun.
Realisasi penerimaan pajak secara total tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan kinerja pada 2020 yang tercatat senilai Rp1.070 triliun. Namun, persentase dari realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh orang pribadi turun 1,5%.
Berdasarkan pada data tersebut, kontribusi PPh orang pribadi dinilai masih minim. Padahal, terdapat ruang penerimaan pajak yang dapat dimaksimalkan dari jenis pajak tersebut tanpa terlalu mendistorsi pertumbuhan ekonomi.
Berbagai negara pada umumnya mengenakan tarif PPh yang lebih besar pada lapisan penghasilan kena pajak (PKP) tertinggi. Berdasarkan pada data yang dikutip dari tradingeconomics.com, tarif PPh tertinggi untuk orang pribadi pada 2022 dimiliki Ivory Coast (tarif 60%), Finlandia (56,95%), Jepang (55,97%), dan Denmark (55,9%).
Indonesia sendiri menduduki peringkat keempat. Dengan tarif PPh orang pribadi sebesar 35%, Indonesia menduduki posisi tertinggi di Asean. Seperti diketahui, tarif 35% baru muncul setelah disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Perubahan bracket tarif PPh orang pribadi melalui UU HPP memang mengedepankan asas equality. Pasalnya, sistem pajak dikatakan adil apabila setiap orang membayar pajak sesuai dengan kemampuannya.
Namun demikian, penambahan tarif belum optimal untuk meningkatkan penerimaan pajak dari PPh orang pribadi. Hal ini dikarenakan pendapatan HWI bukan hanya berasal dari active income, melainkan juga pasive income seperti bunga pinjaman, properti, dan kepemilikan saham. Kendati aset tersebut tidak bersifat liquid, nilainya terus meningkat seiring dengan laju inflasi.
Indonesia memerlukan regulasi dan sistem pemajakan berupa pajak minimum yang akan mencakup pendapatan penuh. Adapun pendapatan penuh ini adalah pendapatan yang dikombinasikan dari active income dan pendapatan apapun yang mereka peroleh.
Dalam upaya mengatasi hal tersebut, pemerintah Amerika Serikat (AS) berencana memungut ‘pajak minimum milarder' terhadap warganya yang memiliki penghasilan lebih dari US$100 juta atau sekitar Rp1,4 triliun (kurs Rp14.345 per dolar AS). Tarif PPh dinaikkan menjadi sebesar 20% dari total pendapatan mereka.
Mengutip taxfoundation.org, pembayaran pajak minimum ini akan mencakup pendapatan penuh mereka, yakni pendapatan yang dikombinasikan dari pendapatan tradisional berupa upah dan pendapatan apapun yang mereka peroleh dalam keuntungan yang belum direalisasikan, seperti hasil dari aset saham.
Sejalan dengan hal tersebut, AS juga berencana mengenakan pajak atas keuntungan modal yang belum direalisasi pada saat kematian. AS juga berencana menaikkan tarif pajak tertinggi atas keuntungan modal dan dividen dari 20% menjadi 39,6%.
Selama ini, para miliarder cenderung membayar tarif lebih rendah karena pemerintah AS tidak mengenakan pajak atas kenaikan nilai kepemilikan saham mereka sampai aset tersebut dijual.
Indonesia juga memerlukan sistem pemajakan terhadap aset yang belum direalisasikan karena kompleksitas sumber kekayaan milik HWI. Dengan demikian, informasi kekayaan HWI terintegrasi dan mudah dianalisis oleh unit khusus perpajakan HWI.
Selain pengenaan pajak terhadap passive income dan aset yang belum teralisasikan, DJP juga memerlukan media informasi keseluruhan aset yang dimiliki HWI. Apabila DJP hanya mengandalkan Amnesti Pajak dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), informasi terbatas. Besar kemungkinan aset bertambah.
UNTUK mempermudah DJP memantau besaran aset yang dimiliki HWI, perlu adanya formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh orang pribadi bagi wajib pajak orang pribadi (WP OP) dengan penghasilan di atas Rp5 miliar dalam setahun.
Seperti diketahui, formulir 1770 SS diperuntukan bagi WPOP dengan penghasilan di bawah Rp60 juta agar wajib pajak mudah melaporkan pajak. Serupa, perlu adanya formulir 1770 HWI agar terwujud pelaporan pajak yang transparan.
Formulir tersebut diharapkan dapat memberi informasi berupa kegiatan transaksi pengalihan harta kepada pihak yang berafiliasi dan data penerima harta. Hal ini diperlukan karena kerap terjadi pengalihan harta dalam jumlah besar kepada pihak afiliasi, seperti keluarga, yang tidak tercantum dalam susunan anggota keluarga pada SPT.
Selain informasi kegiatan afiliasi, diperlukan juga fitur penambahan harta (pada kolom harta) yang dapat terintegrasi dengan data dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) PPS. Selain mempermudah pengisian formulir, integrasi ini juga menjadi tindak lanjut dari pelaporan PPS.
Dikarenakan data terintegrasi dengan pelaporan PPS maka kolom harta dalam formulir 1770 HWI juga perlu menambahkan beberapa informasi. Adapun informasi itu adalah negara tempat harta berada dan apakah harta telah direpatriasi dan/atau diinvestasikan.
Formulir 1770 HWI dapat menjadi media DJP dalam melakukan identifikasi dan pemetaan. Dengan demikian, kekayaan dapat dianalisis menurut karakteristik penghasilan, sektor, jenis aset di setiap negara, serta bukti pemotongan pajak oleh negara yang mengenakan pajak tersebut.
Informasi pemotongan pajak yang sudah dilakukan oleh negara lain dapat menjadi bukti penghasilan tersebut benar sudah dipotong dan tidak adanya penghindaran perpajakan karena penerapan tax treaty sudah sesuai ketentuan.
Oleh karena itu, formulir 1770 HWI juga perlu menambahkan daftar penghasilan dari luar negeri yang menjadi objek penghasilan menurut tax treaty serta pemotongan pajak oleh negara tersebut. Formulir ini dapat berguna dalam upaya pengawasan DJP terhadap wajib pajak strategis. Formulir ini juga akan mempermudah DJP dalam menilai tingkat risiko masing-masing wajib pajak.
Era pandemi ini diharapkan menjadi momentum untuk melakukan reformasi struktural, sehingga kinerja pajak akan makin baik dan tax ratio terus meningkat. Sebab, hilangnya penerimaan pajak akibat berbagai insentif di tengah pandemi perlu diimbangi dengan kontribusi dari HWI.
Dengan demikian, tercipta kolaborasi antarmasyarakat demi peningkatan pendapatan negara secara optimal serta kesejahteraan masyarakat luas. HWI diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan PPh orang pribadi.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.