Founder DDTC Darussalam (kanan) dan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti dalam talk show Jendela Negeri: Pajak untuk Negeri yang disiarkan secara live oleh TVRI, Selasa (2/12/2024).Â
JAKARTA, DDTCNews - Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% perlu dilihat secara komprehensif. Alasannya, pemungutan pajak tidak sekadar berorientasi terhadap penerimaan negara, tetapi juga terhadap pemberian fasilitas fiskal bagi masyarakat.Â
Founder DDTC Darussalam mengingatkan bahwa pemungutan pajak selama ini punya peran dalam meredam berbagai tantangan ekonomi. Misalnya, ketika pandemi Covid-19 melanda, pajak menjadi salah satu instrumen yang dimanfaatkan pemerintah untuk penyaluran beragam subsidi kepada masyarakat.Â
"Pajak, yang awalnya revenue oriented, saat ini pajak bukan semata-mata revenue tapi juga berorientasi dalam memberikan dampak positif. Selama pandemi misalnya, vaksin gratis, bantuan sosial, itu biaya dari mana? Nah di situ ada banyak fasilitas yang diberikan [dari uang pajak]," ujar Darussalam dalam talk show Jendela Negeri: Pajak untuk Negeri yang disiarkan secara live oleh TVRI, Selasa (2/12/2024).Â
Di samping itu, Darussalam menambahkan, pemberian fasilitas fiskal atau subsidi berimplikasi terhadap potensi revenue pemerintah yang hilang. Artinya, pemungutan pajak sendiri dirancang sesuai dengan kemampuan wajib pajak secara alamiah dan mengacu pada kondisi ekonomi saat ini
"Jadi bagaimanapun, melihat kebijakan pajak ini harus melalui sudut pandang helikopter. Jadi sudut pandangnya harus luas, tidak bisa secara parsial," kata Darussalam.Â
Lebih lanjut, Darussalam menekankan bahwa PPN merupakan jenis pajak yang memberikan distorsi relatif kecil terhadap perekonomian. Dia mengungkapkan sistem PPN saat ini telah memberikan fasilitas PPN bagi barang dan jasa kena pajak yang berdampak bagi masyarakat luas sekaligus tingginya threshold PKP di Indonesia.Â
Kedua skema tersebut, fasilitas PPN dan tingginya threshold PKP, telah menghasilkan nilai belanja perpajakan yang tinggi. Pemerintah mencatat total belanja pajak mencapai Rp132,78 triliun pada 2022 dan diestimasi akan mencapai Rp178,74 triliun pada 2025.Â
"Dengan kata lain, kurang lebih 40% dari total belanja perpajakan berorientasi bagi daya beli dan rumah tangga," kata Darussalam.
Merespons reaksi publik yang beragam mengenai rencana kenaikan PPN menjadi 12%, Darussalam menyadari bahwa pemungutan pajak memang punya dua sisi: ada kalanya memberatkan, tetapi ujungnya penerimaan pajak memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat.Â
"Plus minus pasti ada, tetapi bagaimanapun negara ini kan harus mandiri. Negara ini harus hidup dan harus bisa membiayai operasionalnya dengan biaya sendiri, dari pajak. Pilihannya, mau membiayai sendiri atau dari alternatif lain seperti utang?" kata Darussalam.Â
Seperti diketahui, pemerintah berencana menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini sebenarnya telah tertuang dalam Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tarif PPN telah naik dari 10% menjadi 11% pada April 2022 lalu.Â