HINGGA paruh Maret ini, Ditjen Pajak (DJP) terus mendorong wajib pajak, khususnya orang pribadi, segera melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT). Maklum, hingga kini belum ada pengumuman bahwa tenggat pelaporan SPT molor dari jadwal biasa akhir Maret, seperti beberapa tahun silam.
Untuk mendorong kepatuhan wajib pajak itu, DJP juga melibatkan para selebritas, influencer, dan pejabat pemerintah yang memberi contoh telah melaporkan SPT. Wajib pajak juga diingatkan sanksi jika terlambat melapor, yaitu denda Rp100 ribu untuk orang pribadi dan Rp1 juta untuk badan.
Bagi Anda yang entah bagaimana memilih tidak melaporkan SPT, tentu konsekuensinya lebih berat. Dendanya bukan lagi Rp100 ribu atau Rp1 juta seperti terlambat tadi, tetapi jauh lebih besar. Atau bahkan terancam hukuman pidana atau kurungan penjara paling lama 2 tahun.
Konsekuensi itu terjadi jika wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT ternyata merugikan pendapatan negara. Dengan kata lain, pasal ini terutama berlaku bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan di luar gaji, karena jika dari gaji umumnya tidak terancam pidana sebab sudah dipotong pemberi kerja.
Karena itu, Anda harus memastikan penghasilan lain di luar gaji tersebut sudah terpenuhi kewajiban perpajakannya. Jika hanya sebagian atau tidak sama sekali, Anda mungkin boleh harap-harap cemas akan diperiksa karena ketidakpatuhan Anda sendiri.
Alpa atau Sengaja
UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) membagi sanksi dan denda tidak melaporkan SPT dalam 2 kategori, yaitu karena alpa dan karena sengaja. Untuk yang karena alpa, dibagi lagi menjadi 2, yaitu kealpaan pertama dan kealpaan setelah kealpaan pertama.
Pasal 13A mengatur kealpaan pertama. Menurut pasal ini, wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi tidak benar/lengkap, tidak dikenai sanksi pidana. Meski begitu, wajib pajak harus melunasi kurang bayarnya dan sanksi 200% dari kurang bayar itu.
Pasal 38 mengatur kealpaan setelah kealpaan pertama. Pasal 38 ini hanya bisa dipakai atas perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali seperti dimaksud Pasal 13A. Dengan kata lain, harus ada putusan Pengadilan Pajak yang memvonis sanksi Pasal 13A terlebih dahulu sebelum memakai pasal ini.
Sanksi di Pasal 38 ini, apabila wajib pajak karena kealpaannya tidak melaporkan SPT atau melaporkan SPT yang isinya tidak benar/lengkap dan merugikan negara dan perbuatan itu merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali, maka wajib pajak itu akan menghadapi hukuman lebih berat.
Pasal tersebut mengatur wajib pajak terkena denda paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang yang tidak/kurang bayar dan paling besar dua kali jumlah pajak terutang yang tidak/kurang bayar, atau kurungan penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun. Jadi, jenis hukumannya alternatif.
Bagaimana jika keterlambatan pelaporan itu bukan karena alpa alias sengaja? Inilah kategori kedua yang diatur Pasal 39 UU KUP. Hukumannya lebih berat ketimbang alpa. Wajib pajak yang sengaja tidak menyampaikan SPT dan merugikan negara dipidana paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun.
Apabila wajib pajak punya pajak terutang/kurang bayar, hukumannya ditambah denda paling kecil 2 kali jumlah terutang/kurang bayar dan paling besar 4 kali jumlah terutang/kurang bayar. Artinya, yang sengaja akan mendapatkan dua hukuman, yaitu pidana dan denda. Jadi, jenis hukumannya kumulatif.
Kapan Alpa Disebut Pertama
PERBUATAN alpa pertama kali ditentukan oleh pemeriksaan bukti permulaan yang kemudian ditetapkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi Pasal 13A UU KUP oleh pemeriksa bukti permulaan untuk pertama kali. Jadi, bukan ditentukan oleh perbuatan wajib pajak.
Misalnya, wajib pajak pada Agustus 2018 dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2017. Dari hasil pemeriksaan bukti permulaan itu, DJP menetapkan SKP Pasal 13A terhadap wajib pajak bersangkutan. Inilah alpa yang pertama kali.
Contoh lain, jika wajib pajak diperiksa bukti permulaan pada Agustus 2018 untuk tahun 2015, 2016, dan 2017. Mengingat bukti permulaan untuk 3 tahun itu waktunya bersamaan, wajib pajak tetap dianggap alpa pertama kali, bukan alpa sampai 3 kali.
Misalnya, wajib pajak diperiksa bukti permulaan pada 2018 untuk tahun pajak 2017, dengan objek PPh badan. Tahun berikutnya, wajib pajak badan itu kembali diperiksa bukti permulaan dengan objek pemungutan PPN. Untuk kedua objek tersebut, wajib pajak masih dianggap alpa pertama kali.
Lalu kapan kasus tidak melapor SPT dikategorikan karena sengaja, bukan karena kealpaan pertama atau kealpaan setelah kealpaan pertama? Inilah yang agak repot karena memang tidak diatur secara lebih terperinci, alias tergantung pada hasil pemeriksaan bukti permulaan atau subjektivitas hakim.
Ada misalnya putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 711/Pid.B/2012/PN.TK yang memvonis 'karena sengaja' atas SPT yang isinya terus-menerus tidak benar. Hakim memvonis pidana penjara 2 tahun dan pidana denda Rp2,60 miliar yang apabila tidak dibayarkan diganti pidana kurungan 3 bulan. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.