Radius Prawiro.
SAHUTAN suara jangkrik menyelip masuk lewat jendela kayu yang luput tertutup rapat. Malam itu, bertepatan dengan Minggu Legi ketiga sejak awal tahun, layar warna televisi ITT keluaran Jerman menayangkan program televisi Dunia Dalam Berita.
Mengenakan atasan kebaya bermotif bunga-bunga, Anita Rachman, pembaca berita tersohor saat itu, merangkum sejumlah peristiwa penting yang terjadi pada 21 Maret 1982. Pada naskah ketiga yang dibacanya, terdengar nama Presiden Soeharto disebut.
Menginjak tahun keempat pelaksanaan Pelita III, Soeharto mulai mengevaluasi evektivitas pelaksanaan program pembangunan. Semua aspek dilihat lagi, termasuk soal kebijakan ekonomi.
"Kemampuan, dana, dan daya, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mempercepat pembangunan. Pelita III penting untuk meletakkan landasan mencapai masyarakat adil dan makmur," ucap Soeharto.
Memasuki 1980-an, ekonomi Indonesia dihadapkan pada gejolak harga minyak dunia. Oil boom memang terjadi sejak 1981. Namun, pemerintah menyadari bahwa hal itu tak akan berlangsung lama. Padahal sejak berlangsungnya Pelita II pada 1974, penerimaan dari sektor minyak bumi menjadi tulang punggung pembangunan nasional.
Merespons situasi yang terjadi, Soeharto melalui Kabinet Pembangunan III mulai memutar otak agar ketergantungan terhadap minyak bumi bisa sedikit demi sedikit dikurangi. Mau tak mau, sumber penerimaan lainnya harus dioptimalkan. Salah satunya, pajak.
Pada 1981, Ali Wardhana selaku Menteri Keuangan menggandeng Harvard Institute for International Development untuk menyusun langkah anitisipatif dalam mengoptimalkan penerimaan selain dari minyak bumi. Semuanya diformulasikan dalam wujud reformasi pajak.
Salah satu tujuan besar dari reformasi pajak yang disiapkan adalah menyederhanakan hukum pajak dan administrasinya. Tujuan lainnya, menaikkan tax ratio atas pajak non-minyak bumi terhadap produk domestik bruto (PDB) kala itu. Pemerintah ingin menguatkan sumber penerimaan negara yang bukan berasal dari minyak bumi.
Akhirnya, pada 1983 dalam kurun waktu hanya 6 bulan, DPR dan pemerintah menyepakati diterbitkannya 5 Undang-undang (UU) sekaligus sebagai tonggak awal reformasi pajak di Tanah Air. Ketiganya adalah UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), UU tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), dan UU tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN).
Kemudian, ada juga UU tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) dan UU tentang Bea Materai (UU BM).
Reformasi pajak ini sekaligus mengubah sistem official assessment menuju sistem self assessment. Selain karena alasan efisiensi, self assessment system juga diharapkan mengurangi kontak langsung antara wajib pajak dan otoritas sehingga menghindari suap.
"Pokoknya, dalam sistem perpajakan yang baru, semua wajib pajak diberi kesempatan menghitung sendiri jumlah pajak yang harus mereka bayar," kata Menteri Keuangan Radius Prawiro, tak lama setelah dirinya dilantik pada 1983 kepada Majalah Tempo.
Dalam mekanisme self assessment, Radius menyebutkan pegawai pajak perlu bekerja lebih jeli dan cekatan dalam mengawasi wajib pajak. Bahkan dia sempat berceletuk kepada jajaran pegawai pajak,"Jika tak ikhlas, lebih baik menganggur saja. Tidak usah mengabdikan diri. Bebas semuanya."
Di luar pro dan kontra yang muncul saat itu, reformasi pajak 1983 terbukti berhasil mengubah postur fiskal Indonesia. Sebelum 1984, penerimaan pajak hanya mampu berkontribusi sebesar 24% terhadap total pendapatan dalam negeri. Pascareformasi pajak, kontribusinya meningkat secara konsisten. Hal ini dikonfirmasi dengan kinerja tax ratio Indonesia sebelum dan sesudah reformasi pajak.
Berselang 4 dekade, reformasi pajak masih terus berlangsung. Perbaikan demi perbaikan diupayakan demi menguatkan basis pajak dan mewujudkan sistem pajak yang berkeadilan.
Pada 2021 lalu misalnya, pemerintah mengesahkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Beleid itu menjadi penyambung estafet reformasi pajak yang sudah berlangsung selama 40 tahun.
Kini, bertepatan dengan Hari Pajak yang jatuh pada 14 Juli, agaknya pemerintah perlu memanfaatkan momentum untuk mengokohkan kembali cengkeraman akar reformasi pajak.
Reformasi tak cuma boleh cuma berjalan pada organisasi Ditjen Pajak (DJP) saja, tetapi juga pada SDM-nya, teknologinya, hingga proses bisnisnya. Pelayanan yang mudah dengan pendekatan yang humanis menjadi bekal untuk memangkas compliance cost. Pada akhirnya, tax ratio bisa terangkat.
Selamat Hari Pajak!