SATU-dua Chevrolet Caprice bercat kuning tampak melambat di lajur kanan Eighth Avenue. Satu di antaranya, menurunkan pria paruh baya di depan sebuah kedai makanan milik warga keturunan Pakistan. Wangi irisan daging domba panggang menyerobot masuk ke dalam kabin taksi begitu satu pintunya terbuka.
Singkat, penumpang itu melangkahkan kaki di atas trotoar seusai transaksinya tuntas. Hidungnya tak bisa mengelak dari sengatan aroma kabab yang tersaji. Matanya cepat bekerja memantau sekitar, mencari alamat yang dicari. Sementara lengan kirinya mengapit The New York Times yang dibelinya pagi tadi.Â
Menyembul dari balik lengan kurusnya, huruf-huruf kapital tercetak tebal di halaman depan koran terbesar di Amerika Serikat itu: INGKAR JANJI.Â
Kota New York memang cukup hangat saat pria tadi akhirnya memutuskan berjalan ke arah Madison Square -- dia baru menyadari kalau salah turun, sesaat setelah taksi kuningnya melaju pergi.
Namun, headline media massa pada hari itu tampaknya lumayan mendung. Udara 78 fahrenheit di awal musim panas tak cukup membendung hawa dingin dari Washington, D.C., tertiup dari Gedung Putih. Terpampang foto George H.W. Bush di sebelah frasa Ingkar Janji di halaman depan koran tadi. Ya, Presiden Amerika tengah dituding membohongi rakyatnya sendiri.Â
Jalin cerita di atas memang fiksi. Tapi judul utama The New York Times tentang Presiden Bush bukan rekaan. Edisi 27 Juni 1990 koran itu mengulas secara mendalam tentang kegagalan Bush dalam memegang kata-katanya. Presiden ke-41 AS itu menuai tulah dari strategi politiknya.
Semua berawal dari janji politik yang dilontarkan Bush saat kampanye pemilihan presiden, 3 tahun sebelumnya. Kala itu, pidatonya berhasil mengikat kepercayaan rakyat. Namun dalam waktu singkat, rakyat justru berbalik memunggunginya.
Kita menuju ke ujung selatan daratan Amerika, Negara Bagian Louisina, di sisa musim panas 1988.
18 Agustus 1988
Puluhan ribu manusia memadati the Superdome, New Orleans. Malam itu merupakan hari ketiga Konvensi Nasional Partai Republik. Bush, yang saat itu masih menjabat wakil presiden AS, akhirnya naik ke podium menyampaikan pidato politiknya untuk maju dalam pemilihan presiden 1988, melawan Michael Dukakis dari Demokrat.
Secara umum, kampanye-kampanye Bush diisi dengan program keberlanjutan dari kebijakan politik ekonomi Ronald Reagan, presiden AS yang didampinginya sejak 1981. Isu ekonomi masuk ke dalam janji politik yang diulang-ulang dalam setiap kampanyenya, termasuk soal pajak.Â
Melanjutkan apa yang sudah dilakukan Reagan, Bush berjanji untuk tidak menaikkan tarif pajak. Sebenarnya hal tersebut sedikit lebih moderat ketimbang kebijakan Reagan selama 8 tahun terakhir, yakni memangkas pajak dan menaikkan anggaran militer.Â
Ancaman defisit APBN nyata menganga di depan mata apabila penerimaan pajak tidak digenjot. Namun, Bush terdesak agenda politik. Dia harus melanjutkan estafet presidensi bagi Partai Republik. Sementara itu, isu pajak murah dianggap paling memikat hati rakyat. Jadilah Bush tetap bersikeras tidak akan menaikkan pajak.Â
"And the Congress will push me to raise taxes and I'll say no. And they'll push, and I'll say no, and they'll push again, and I'll say, to them, 'Read my lips: no new taxes'," ujar Bush dengan intonasi memikat di hadapan puluhan ribu massa, diikuti gemuruh sorak-sorai pendukungnya yang menggema di sudut-sudut stadion.Â
"Baca bibirku: tidak akan ada pungutan pajak baru," begitu kira-kira arti frasa ikonik dalam kampanye Bush tentang pajak. Saking ikoniknya, jutaan warga AS akhirnya manjatuhnya pilihannya kepada Bush. Dalam pemilihan 8 November 1988, Bush memenangkan mayoritas suara sekaligus electoral college.Â
Naskah pidato kampanye Bush yang disusun oleh stafnya, Peggy Noonan, ternyata mengandung magis luar biasa. Isu pajak punya daya pikat yang sangat besar bagi penduduk Negeri Paman Sam. Saat itu, pemerintah memang mempromosikan tarif pajak rendah demi mem-boost ekonomi.Â
Namun, tahun-tahun pemerintahan Bush sebagai Presiden AS justru makin membuktikan bahwa janji surga tentang pajak murah bukan hal mudah.Â
Belanja militer yang membengkak, berkat Perang Teluk I dengan kode Operation Desert Storm, tidak dibarengi dengan efisiensi belanja yang optimal. Di sisi lain, penerimaan pajak tidak bisa, sesuai janji politik, untuk digenjot. Defisit APBN lantas menjadi isu yang terus digoreng oleh Kongres yang dikuasai oleh Demokrat.Â
Kebijakan ekonomi Bush makin diuji pada 1990, ketika defisit APBN mencapai 3,7% terhadap PDB atau senilai US$221 miliar. Angkanya terus membengkak, ketimbang defisit APBN pada 1989 sebesar 2,7%.Â
Akhirnya pada 26 Juni 1990, Bush merilis 4 kebijakan untuk mengerem defisit anggaran. Salah satu yang paling mentereng: menggenjot penerimaan pajak. Bush tidak secara gamblang menyebut akan menaikkan tarif pajak. Namun, frasa 'menggenjot penerimaan pajak' mau tak mau berujung pada penyesuaian tarif.Â
Hal itu terbukti. Pada 1990 Bush menaikkan tarif pajak tertinggi bagi orang pribadi menjadi 31%, cukup jauh di atas batas atas tarif pada pemerintahan Reagan sebesar 28%. Seluruh kebijakan baru itu dimuat dalam Omnibus Budget Reconciliation Act of 1990.Â
Kemudian, di akhir 1990, AS memanen manfaat dari economy boom dan berujung pada surplus anggaran. Namun, hal ini tidak berimbas positif pada citra presiden. Bush telanjur dicap sebagai sosok yang mengingkari janji politiknya.Â
Kondisi ini berujung pada kekalahannya dalam pencalonan kembali sebagai presiden AS pada 1992. Bush kalah dari pesaingnya, Bill Clinton yang berpasangan dengan Al Gore.Â
Membaca bibir Bush ternyata memberikan banyak pelajaran bagi pemerintah AS dalam mengelola anggaran. Kebijakan Bush untuk melanggar janjinya pada 1990 terbukti 'berhasil' menyeimbangkan APBN AS hingga 2001. Ketika sebagian orang menilai Bush tak bisa dipegang kata-katanya, sebagian lagi menilai Bush cukup rasional untuk menyelamatkan negara ketimbang melanjutkan 'malpraktik politik'.
Apa yang terjadi di Amerika Serikat 30 tahun silam bisa saja terjadi di Indonesia. Masalahnya, sampai saat ini belum ada calon presiden yang dalam kampanye-kampanye politiknya secara gamblang menjadikan isu pajak sebagai salah satu deret program utamanya.Â
Poin kebijakan utama yang diusung partai politik atau calon presiden masih berkutat pada kesehatan, kemiskinan, pendudukan, dan ketenagakerjaan. Padahal, penerimaan pajak merupakan penggerak APBN yang menjadi modal pembangunan di seluruh bidang.Â
Sebelumnya, Joko Widodo (Jokowi) dalam kampanye-kampanyenya pada 2019 memang sempat menyinggung isu pajak dalam janji politiknya. Namun, skalanya bersifat mikro, sebagai selipan di antara kebijakan ekonomi makro yang disiapkannya.Â
Ke depan, akan sangat menarik apabila ada calon-calon pemimpin yang secara terbuka mendorong isu pajak sebagai janji politiknya. Bukan tidak mungkin isu pajak menjadi pendongkrak elektabilitas partai atau calon presiden yang diusung.Â
Kini, kurang dari setahun lagi akan berlangsung pemilihan umum. Tidak banyak waktu tersisa bagi partai politik dan kandidat pemimpin yang diusung untuk menyiapkan formula kebijakan.
Strategi komunikasi politik dan peta koalisi boleh saja disiapkan matang-matang. Tetapi, tokoh-tokoh politik tidak boleh lupa bahwa program dan kebijakan yang akan ditawarkan kepada rakyat juga perlu diramu. Apapun platform yang diusung, calon pemimpin perlu menerapkan prinsip meaningful participation dalam implementasi kebijakannya kelak.
Beranikah calon presiden mendatang menyodorkan janji politik soal pajak?Â