SATRIO BUDIHARDJO JOEDONO:

'Kanker itu Seperti Korupsi, Harus Dipotong'

Redaksi DDTCNews
Selasa, 09 Mei 2017 | 18.55 WIB
'Kanker itu Seperti Korupsi, Harus Dipotong'

Satrio Budihardjo Joedono (Ilustrasi: www.mindtalk.com)

JAKARTA, Kamis, 1 November 2001. Palu tanda dimulainya Sidang Tahunan MPR-RI diketuk. Sidang membahas pengesahan amendemen ketiga UUD 1945. Suasana hari itu lumayan gawat. Berbagai manuver muncul silih berganti. Tidak jelas lagi mana usul mana interupsi.

Di salah satu sudut, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio Budihardjo ‘Billy’ Joedono (1932-2017) duduk bersama timnya. Mereka saling berbisik, tapi dengan wajah tegang. Ada informasi, ada manuver yang disiapkan untuk membalikkan kedudukan BPK dengan BPKP.

BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) adalah lembaga pengawas bentukan pemerintah. Manuver itu dimaksudkan untuk menaikkan kedudukan BPKP jadi pemeriksa eksternal dan menggantikan BPK. Sebaliknya, BPK akan menjadi lembaga pengawas.

Alasan tukar-tempat BPK-BPKP yang dikembangkan ketika itu adalah bahwa BPKP memiliki fasilitas dan jumlah pemeriksa yang jauh lebih banyak dari BPK, dengan kantor perwakilan yang tersebar di seluruh provinsi. Sementara BPK hanya memiliki satu kantor pusat di Jakarta.

Manuver itu mengagetkan karena Billy sendiri dan timnya sebelumnya sudah bergerilya menemui sejumlah tokoh kunci baik di parlemen maupun pemerintahan untuk mendukung reposisi peran dan kewenangan BPK, yang sedemikian rupa dikerdilkan selama Orde Baru.

Akhirnya, di tengah sidang, dengan lantang ekonom anggota ICMI yang ‘dipecat’ Presiden Soeharto saat menjabat Menteri Perdagangan ini pun mendesakkan permintaannya: Fungsi BPK harus dikembalikan sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara yang independen.

Dengan geram ia mengecam pelintiran tafsir Pasal 23 UUD 1945 yang jelas-jelas telah memberikan mandat kepada BPK untuk menjadi auditor eksternal independen. Ia pun menuding rencana menjadikan BPKP sebagai pemeriksa eksternal adalah tindakan inkonstitusional.

“Ini sesuai dengan pandangan yang kuat dalam sidang tahunan Majelis tahun lalu, yaitu agar BPK dikukuhkan sebagai lembaga pemeriksa, bukan pengawas. Karena itu, BPK harus menjadi satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal yang bebas dan mandiri,” tandas Billy.

Manuver itu akhirnya redam. Jumat, 9 November 2001, usulan penguatan BPK disetujui. Pokok tentang BPK yang pada naskah asli konstitusi diatur satu pasal saja yaitu Pasal 23 ayat (5), diperluas jadi satu bab tersendiri (Bab VIIIA) dengan tiga pasal, yaitu Pasal 23E, 23F, dan 23G.

Bersamaan dengan itu, terbit TAP MPR No.X/MPR/2001 yang menyebut BPK sebagai ‘satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara yang peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga independen’, hingga dipertegas lagi oleh TAP MPR No.VI/MPR/2002.

Sejak itu, di bawah komando Billy, BPK mulai menemukan ‘bentuk permainan’. Sejumlah kasus besar terungkap, mulai dari skandal Bank Bali, korupsi BLBI, komputerisasi SIM di Polri, restitusi pajak, sampai ke wilayah tak tersentuh seperti Yayasan ABRI dan dana taktis Istana.

Namun, selesaikah persoalan? Ternyata tidak. Resistensi masih kuat, terutama dari pemerintah. Ketika pada 5 April 2002 dan 22 Juli 2002 BPK menyurati Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN untuk mengaudit BUMN misalnya, kedua kementerian itu masih ngeles.

Capaian menjadi satu-satunya pemeriksa keuangan negara eksternal yang bebas dan mandiri praktis baru diperoleh BPK 5 tahun berikutnya, setelah Billy diganti Anwar Nasution, sejalan dimulainya reformasi keuangan negara hingga terbit UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK.

Tahun 2004, menjelang jabatannya di BPK berakhir, Billy terkena kanker usus besar dan menjalani kemoterapi. Bobotnya turun drastis. Tapi ia seperti tak punya beban. “Kanker itu seperti korupsi. Harus dipotong. Itu saja. Bulan lalu usus besar saya dipotong 50 senti.” (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.